Jakarta, 20 Mei 2025 – Rencana demonstrasi besar-besaran para pengemudi online di Jakarta pada Selasa (20/5/2025) menyoroti perdebatan krusial mengenai status profesi mereka: UMKM atau pekerja? Perbedaan pandangan antara Kementerian UMKM yang cenderung mengategorikan mereka sebagai UMKM dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang menginginkan status karyawan tetap telah memicu polemik yang memanas.
Para pengemudi, yang meliputi ojek online, taksi online, dan kurir, tengah menghadapi ketidakpastian hukum yang berdampak signifikan pada kesejahteraan dan hak-hak mereka. Perdebatan ini bukan hanya sekadar perselisihan antar kementerian, melainkan menyangkut hajat hidup ribuan bahkan jutaan pengemudi online di Indonesia.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, memberikan argumen kuat yang mendukung klasifikasi pengemudi online sebagai UMKM. Dalam pandangannya, hubungan antara pengemudi dan aplikasi penyedia layanan bersifat horizontal, bukan vertikal seperti hubungan antara pekerja dan pemberi kerja. "Dalam konteks kemitraan, hubungannya setara," tegas Nailul dalam diskusi ‘Dinamika Industri On-Demand di Indonesia’, Senin (19/5/2025). "Tidak ada status atasan dan bawahan. Sehingga, lebih tepat dikategorikan sebagai UMKM. Pekerja itu bersifat subordinasi, sedangkan driver membayar aplikasi, berbagi hasil, hubungannya horisontal."
Nailul lebih lanjut menjelaskan bahwa pengemudi online pada dasarnya adalah pengusaha mikro yang menjual jasa, baik jasa pengantaran penumpang maupun barang. Mereka memiliki otonomi dalam mengatur waktu kerja dan strategi operasional. "Oleh karena itu, menurut saya, driver tidak mungkin dijadikan pekerja," tandasnya.
Pendapat senada disampaikan Agung Yudha, Executive Director Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara). Ia menilai klasifikasi sebagai pekerja bukanlah pilihan terbaik. "Pengaturan sekarang menjadi tenaga kerja, ini saya kira bukan pilihan yang terbaik," ujar Agung. Ia memperingatkan bahwa jika dikategorikan sebagai pekerja, aplikasi penyedia layanan akan menghadapi keterbatasan dalam perekrutan, berpotensi meningkatkan angka pengangguran. "Status kemitraan selama ini lebih banyak menjadi batalan sosial yang idealnya tidak menjadi permanen," tambahnya.
Lebih jauh, Agung menyoroti dampak status pekerja terhadap fleksibilitas kerja para pengemudi. Aturan-aturan seperti jam kerja dan penilaian kinerja akan membatasi otonomi yang selama ini menjadi daya tarik profesi ini. "Menjadikan mitra pengemudi masuk ke dalam skema pengusaha mikro di bawah UMKM bisa jadi adalah pilihan yang lebih baik," tegas Agung. Ia menekankan manfaat akses terhadap fasilitas dan subsidi yang tersedia bagi UMKM.
Sementara itu, dari sisi aplikator, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy, mengungkapkan kekhawatiran serupa. Ia memproyeksikan tiga dampak negatif jika pengemudi online dikategorikan sebagai pekerja tetap: pertama, jumlah pengemudi yang dapat diakomodasi akan jauh berkurang; kedua, persyaratan dan kewajiban yang lebih ketat akan membatasi aksesibilitas profesi ini; dan ketiga, terganggunya layanan pesan antar, khususnya bagi UMKM yang bergantung pada layanan tersebut.
"Kalau sampai harus jadi pekerja karyawan tetap, jumlahnya akan jauh lebih menyusut. Hanya sedikit yang bisa diakomodasi," jelas Tirza. Ia menambahkan bahwa persyaratan yang lebih tinggi akan mengkhianati prinsip fleksibilitas yang menjadi daya tarik utama profesi ini. "Jadi memang tidak cocok kalau sebagai karyawan tetap. Sebaiknya dipertahankan dengan prinsip mitra yang fleksibel," pungkasnya.
Perdebatan ini menyoroti kompleksitas regulasi dalam menghadapi perkembangan ekonomi digital. Di satu sisi, perlindungan pekerja dan jaminan kesejahteraan merupakan hal yang krusial. Di sisi lain, fleksibilitas dan kemandirian yang menjadi ciri khas ekonomi gig menjadi pertimbangan penting. Pertanyaan kunci yang perlu dijawab adalah bagaimana menyeimbangkan kedua aspek tersebut agar menciptakan sistem yang adil dan berkelanjutan bagi para pengemudi online dan industri secara keseluruhan. Aksi demonstrasi yang direncanakan menjadi momentum penting untuk mendengar aspirasi para pengemudi dan mencari solusi yang komprehensif atas permasalahan ini. Pemerintah dituntut untuk mengambil langkah bijak dan responsif dalam merespon tuntutan para pengemudi online, sekaligus mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Kejelasan regulasi dan perlindungan hukum yang memadai menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.