Depok, 12 Maret 2025 – Geliat bisnis fesyen, khususnya menjelang Ramadan dan Idul Fitri, masih membekas jelas dalam ingatan Mansyur (46). Pria yang pernah berjaya dengan lima kios fesyen di Cengkareng, Jakarta Barat, itu mengenang masa keemasannya dengan omzet mencapai Rp 30 juta saat Lebaran. Namun, kenangan itu kini hanya tinggal cerita. Mansyur telah bertransformasi, beralih dari panggung mode ke dunia perlengkapan bayi di Sawangan, Depok. Jejak masa lalunya masih terlihat samar di kiosnya yang unik, memajang perlengkapan bayi dan sisa-sisa koleksi fesyen impor secara berdampingan.
"Sebelum ini, tahun 2002 saya buka toko fesyen di WTC Mangga Dua, lalu buka cabang di Bekasi, dan akhirnya pindah ke Cengkareng," kenang Mansyur di Kios Rumah Balita, Sawangan, Rabu (12/3/2025). Ia membidik pasar menengah atas dengan menjual fesyen impor yang ia suplai dari Pasar Tanah Abang. Bisnisnya berkembang pesat, hingga memiliki beberapa cabang. Namun, selama dua dekade bergelut di industri fesyen, pandemi COVID-19 memaksanya menyerah.
Pandemi yang melanda Indonesia pada awal tahun 2020 memberikan pukulan telak bagi bisnisnya yang berlokasi di pusat perbelanjaan. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat omzetnya terjun bebas. "Barang-barang dari Pasar Tanah Abang, yang kebanyakan impor, saya beli grosir. Awalnya penjualan stabil, tapi pandemi membuat bisnis fesyen anjlok. Selama empat bulan saya sama sekali tidak mendapat penghasilan," ujarnya.
Beban operasional yang terus menghimpit, berupa sewa ruko sebesar Rp 60 juta per bulan dan gaji karyawan, semakin memperparah kondisinya. Meskipun sempat berharap bisnisnya pulih setelah pandemi mereda, harapan itu tak kunjung terwujud. Mansyur akhirnya terpaksa menutup usaha yang telah membesarkan namanya. Tabungannya sebesar Rp 150 juta menjadi modal awal untuk memulai babak baru.
Ide beralih ke bisnis perlengkapan bayi muncul dari saran saudara yang telah lebih dulu terjun di bidang tersebut. Sawangan, dengan beberapa perumahan baru yang terus berkembang, dinilai memiliki potensi pasar yang menjanjikan. Produk seperti susu dan popok bayi ternyata cukup diminati masyarakat sekitar. "Usaha baju sempat tetap buka setelah COVID-19, tapi pengunjung sepi, sewa tetap jalan, gaji karyawan tetap harus dibayar, akhirnya habislah modal. Saya mencoba banting setir ke jualan perlengkapan bayi dengan modal Rp 150 juta. Waktu itu, penjualan susu dan popok seimbang," jelasnya.
Sisa barang fesyennya dipindahkan ke Sawangan. Mansyur masih menyimpan harapan untuk kembali berjaya di dunia fesyen, sehingga ia membuka kios pakaian impor di samping kios perlengkapan bayinya. Namun, penjualan pakaian impor di kawasan tersebut kurang menguntungkan. Akhirnya, ia memutuskan untuk menutup kios pakaian dan menggabungkannya dengan kios perlengkapan bayi.
Sisa modal yang ada kemudian diinvestasikan ke sektor pertanian, tepatnya budidaya singkong di kampung halamannya di Lampung – daerah penghasil singkong utama di Indonesia. Mansyur memiliki dua hektar lahan sendiri dan menyewa tiga hektar lagi untuk meningkatkan produksi. "Kita sudah coba fesyen, nggak begitu ngangkat, sehingga kita nge-down dan toko sebelah (toko pakaian) tutup. Akhirnya banting setir lagi, dilarikan ke pertanian, cari aman ke kebun singkong di Lampung," tuturnya.
Meskipun kini memiliki dua sumber pemasukan, Mansyur mengaku masih menyimpan rasa penasaran terhadap bisnis fesyen. Ia mengaku lebih menyukai dunia fesyen, meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang tersebut. Dalam menjalankan bisnis fesyennya dulu, ia kerap memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI. Ia telah tiga kali mengajukan KUR, mulai dari Rp 20 juta, Rp 30 juta, hingga Rp 100 juta. Selama pandemi, ia mendapat keringanan pembayaran KUR melalui program restrukturisasi.
"KUR BRI waktu saya masih buka di Mal Cengkareng, ditawari KUR bertahap, dari Rp 20 juta, ada mantri datang ke toko. Habis itu dapat lagi Rp 30 juta hingga Rp 100 juta. Pas COVID-19 sempat dapat keringanan, sangat alhamdulillah, membantu karena bisa nggak bayar beberapa bulan," kenang Mansyur.
Program restrukturisasi KUR yang diluncurkan pemerintah pada April 2020 memang menjadi angin segar bagi UMKM yang terdampak pandemi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat itu mengumumkan pembebasan bunga dan penundaan pokok angsuran KUR selama maksimal enam bulan bagi usaha yang memenuhi kriteria. Kebijakan ini bertujuan untuk membantu UMKM bertahan di tengah krisis ekonomi. Restrukturisasi kredit, termasuk penurunan suku bunga, perubahan struktur kredit, atau penambahan plafon, menjadi solusi yang ditawarkan perbankan kepada nasabah yang memiliki prospek usaha baik dan itikad baik.
Mansyur adalah salah satu contoh keberhasilan program tersebut. Ia mampu melewati masa sulit dan kini usahanya kembali berjalan, bahkan berkembang dengan tambahan usaha perlengkapan bayi. Ia juga mengikuti perkembangan zaman dengan menyediakan pembayaran melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).
"Terbantu sih ya dengan adanya QRIS ini, saya cukup sering belanja, apa pun asal ada QRIS saya bayar pakai QRIS karena simpel. Saya di sini belanja popok untuk anak saya," ujar Dewa, salah satu pelanggan Mansyur, yang ditemui di kiosnya.
Kini, Mansyur melanjutkan perjalanannya, menyeimbangkan bisnis fesyen yang tetap ia jalankan dengan usaha perlengkapan bayi yang menjanjikan, sembari memantau kebun singkongnya di Lampung. Kisahnya menjadi bukti nyata tentang kegigihan dan kemampuan beradaptasi dalam menghadapi tantangan ekonomi, khususnya di tengah pandemi yang telah mengubah lanskap bisnis di Indonesia.