Jakarta, 5 April 2025 – Kebijakan kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengenakan tarif impor terhadap barang-barang dari 100 negara mitra dagang, yang mulai berlaku hari ini, telah memicu reaksi berantai yang mengguncang perekonomian global. Anjloknya harga minyak, penurunan tajam pasar saham, dan ancaman inflasi yang membayangi menjadi dampak langsung yang segera terasa, menepis klaim optimisme Gedung Putih.
Kebijakan proteksionis Trump, yang diumumkan pada 5 April 2025, seketika memicu balasan dari China, salah satu mitra dagang terbesar AS. Beijing langsung mengumumkan tarif balasan sebesar 34% terhadap barang-barang ekspor AS, menandai eskalasi perang dagang yang berpotensi menghancurkan perekonomian global. Langkah ini memperlihatkan betapa sensitifnya hubungan ekonomi bilateral kedua negara adidaya tersebut, dan bagaimana kebijakan unilateral Trump berpotensi memicu reaksi berantai yang merugikan semua pihak.
Dampak paling nyata terlihat pada sektor energi. Harga minyak mentah anjlok ke level terendah sejak pandemi COVID-19 melanda. Penurunan ini mengindikasikan melemahnya permintaan global, sebuah sinyal peringatan akan potensi resesi ekonomi yang semakin nyata. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif Trump telah membuat investor enggan mengambil risiko, mengakibatkan penurunan permintaan energi dan komoditas lainnya.
Gejolak di pasar komoditas berdampak langsung pada pasar saham global. Pasar saham Eropa mencatat penurunan dramatis sebesar 2%, merupakan penurunan terburuk dalam delapan bulan terakhir. Situasi ini mencerminkan kekhawatiran investor akan dampak negatif kebijakan tarif Trump terhadap pertumbuhan ekonomi global. Ketidakpastian yang meluas membuat investor cenderung menarik investasi mereka, mengakibatkan penurunan nilai saham di berbagai sektor.
Di Amerika Serikat sendiri, dampaknya terasa lebih dahsyat. Indeks Dow Jones Industrial Average, barometer utama pasar saham AS, mengalami penurunan tajam hingga 1.500 poin selama dua hari berturut-turut. Penurunan ini menunjukkan tingkat kepanikan yang tinggi di kalangan investor AS, yang khawatir akan dampak jangka panjang kebijakan Trump terhadap perekonomian domestik. Kerugian yang dialami investor mencapai angka triliunan dolar, menunjukkan betapa besarnya dampak kebijakan proteksionis ini terhadap pasar modal.
Ancaman inflasi menjadi kekhawatiran utama yang muncul pasca-pengumuman kebijakan tarif. Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, telah memperingatkan akan potensi lonjakan inflasi akibat kebijakan ini. Tarif impor yang lebih tinggi akan meningkatkan harga barang-barang di pasaran, mengakibatkan daya beli masyarakat menurun dan berpotensi memicu spiral inflasi yang sulit dikendalikan. Hal ini akan semakin memperburuk kondisi ekonomi, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang paling rentan terhadap kenaikan harga.
Selain inflasi, pertumbuhan ekonomi AS juga diprediksi akan melambat secara signifikan. Meningkatnya biaya impor akan mengurangi daya saing produk AS di pasar global, mengakibatkan penurunan ekspor dan pertumbuhan ekonomi yang lesu. Kebijakan proteksionis Trump, yang bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri, justru berpotensi merusak perekonomian AS secara keseluruhan.
Ironisnya, Gedung Putih justru mengeluarkan pernyataan yang memuji kebijakan tarif Trump sebagai langkah yang "sangat sukses bagi rakyat Amerika". Mereka mengklaim kebijakan ini akan membawa "kekuatan, kemakmuran, dan perdamaian" bagi bangsa Amerika. Pernyataan ini jelas bertolak belakang dengan realita di lapangan, di mana pasar saham anjlok, harga-harga naik, dan ancaman resesi semakin nyata.
Presiden Trump sendiri membela kebijakannya dengan menyebutnya sebagai tindakan "berani" untuk membalas "dekade globalisasi yang telah menghancurkan basis industri kita". Pernyataan ini menunjukkan pandangan sempit Trump terhadap perdagangan internasional, yang mengabaikan kompleksitas hubungan ekonomi global dan potensi dampak negatif dari kebijakan proteksionisnya.
Kesimpulannya, kebijakan tarif Trump telah memicu reaksi berantai yang berpotensi menghancurkan perekonomian global. Anjloknya pasar saham, ancaman inflasi, dan penurunan harga minyak merupakan bukti nyata dari dampak negatif kebijakan ini. Klaim Gedung Putih yang optimistis bertolak belakang dengan realita di lapangan, menunjukkan kurangnya pemahaman akan kompleksitas ekonomi global dan potensi konsekuensi dari kebijakan proteksionis yang diterapkan. Ke depan, dunia akan menyaksikan bagaimana dampak kebijakan ini akan terus berkembang dan bagaimana negara-negara lain akan merespon langkah proteksionis Trump yang berpotensi memicu perang dagang yang lebih besar dan lebih merusak. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan ini akan terus menghantui pasar global dalam jangka waktu yang panjang, mengancam stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia.