Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China memasuki babak baru yang menegangkan. Peningkatan tarif impor oleh Presiden AS terhadap barang-barang China hingga 125%—sebuah langkah yang berpotensi memangkas ekspor China ke AS lebih dari setengahnya dalam beberapa tahun mendatang—justru tak membuat Beijing gentar. Analisis mendalam menunjukkan bahwa sikap teguh China ini dilandasi oleh strategi jangka panjang yang terencana matang, ketahanan ekonomi yang teruji, dan sistem politik yang berbeda secara fundamental dengan AS.
Victor Shih, Direktur 21st Century China Center di Universitas California San Diego, memberikan pandangan kunci mengenai ketahanan China dalam menghadapi tekanan ekonomi dari AS. Menurutnya, kekuatan utama China terletak pada ketiadaan tekanan langsung dari pemilih dan jajak pendapat yang mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Berbeda dengan AS di mana para politisi sangat sensitif terhadap fluktuasi opini publik dan tekanan elektoral, para pemimpin Partai Komunis China dapat mengambil keputusan strategis jangka panjang tanpa terbebani oleh siklus pemilihan.
"Para pemimpin Partai Komunis di China tidak menghadapi tekanan langsung dari pemilih atau jajak pendapat," ujar Shih kepada CCN Business, Kamis (10/4/2025). "Mereka dapat bertahan dengan kondisi ini dibandingkan Amerika."
Pengalaman China menghadapi pandemi COVID-19 turut memperkuat argumen ini. Penutupan ekonomi yang drastis pada masa awal pandemi, meskipun mengakibatkan pengangguran massal, tidak menggoyahkan pemerintahan. Shih menekankan, "Selama Covid, mereka menutup perekonomian, menyebabkan penderitaan dan pengangguran besar dan tidak masalah." Hal ini menunjukkan ambang toleransi terhadap dampak ekonomi negatif yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara demokrasi.
Sebagai antisipasi terhadap perang dagang yang berkepanjangan, China telah secara proaktif membangun strategi diversifikasi perdagangan. Dalam beberapa minggu terakhir, Beijing gencar melakukan pendekatan diplomatik dengan negara-negara di Eropa dan Asia Tenggara untuk memperkuat kerja sama ekonomi. Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk mengimbangi ketergantungan pada pasar AS dan sekaligus merebut simpati negara-negara yang merasa lelah dengan ketidakpastian perang dagang AS-China.
"Pemerintah Tiongkok telah mempersiapkan diri untuk hari ini selama enam tahun," tegas Shih. Persiapan ini bukan sekadar retorika. Editorial People’s Daily, surat kabar resmi Komite Sentral Partai Komunis China, mengungkapkan optimisme dan kesiapan menghadapi tantangan ini. Dalam editorial yang diterbitkan Senin lalu, surat kabar tersebut menyatakan, "Sebagai respons terhadap tarif AS, kami siap dan memiliki strategi. Kami telah terlibat dalam perang dagang dengan AS selama delapan tahun, dan telah mengumpulkan pengalaman yang kaya dalam perjuangan ini."
Analisis para ahli menunjukkan bahwa posisi China dalam menghadapi konflik dagang saat ini jauh lebih kuat dibandingkan tahun 2018. Diversifikasi ekonomi telah mengurangi ketergantungan pada ekspor ke AS secara signifikan. Proporsi ekspor China ke AS telah turun dari sekitar seperlima dari total ekspor menjadi kurang dari 15%. Langkah strategis ini telah mengurangi dampak negatif potensial dari tarif impor AS.
China juga telah secara aktif membangun basis produksi di negara ketiga, seperti Vietnam dan Kamboja, untuk memanfaatkan tarif impor yang lebih rendah di negara-negara tersebut. Langkah ini menunjukkan kemampuan adaptasi dan fleksibilitas China dalam menghadapi tekanan ekonomi. Selain itu, investasi besar-besaran dalam teknologi canggih, termasuk kecerdasan buatan (AI), robotika, dan semikonduktor, telah meningkatkan daya saing industri manufaktur China dan mengurangi ketergantungan pada teknologi asing. Penguatan rantai pasokan untuk mineral penting seperti rare earth juga menjadi bagian penting dari strategi ini.
Pemerintah China juga secara aktif berupaya mengatasi masalah ekonomi domestik, seperti lemahnya konsumsi dan tingginya utang pemerintah daerah. Meskipun tingkat keberhasilannya bervariasi, upaya ini menunjukkan komitmen untuk membangun fondasi ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Kesimpulannya, ketahanan China dalam menghadapi tarif impor AS yang tinggi bukanlah semata-mata keberuntungan. Ini merupakan hasil dari strategi jangka panjang yang terencana dengan baik, dipadukan dengan sistem politik yang memungkinkan pengambilan keputusan strategis tanpa terbebani oleh tekanan politik jangka pendek. Diversifikasi ekonomi, peningkatan teknologi, dan kemampuan adaptasi yang tinggi telah menempatkan China dalam posisi yang lebih kuat untuk menghadapi konflik dagang yang berkepanjangan, bahkan dengan tarif impor yang sangat tinggi sekalipun. Perang dagang AS-China bukan hanya pertarungan ekonomi, tetapi juga pertarungan strategi dan sistem politik yang berbeda. Dan untuk saat ini, China tampak siap untuk menghadapi pertarungan tersebut.