Jakarta, 13 Mei 2025 – Setelah periode ketegangan yang panjang akibat perang dagang, China secara resmi mencabut larangan impor pesawat Boeing dari Amerika Serikat (AS). Keputusan ini menyusul kesepakatan gencatan senjata sementara antara kedua negara ekonomi terbesar dunia tersebut, yang ditandai dengan pengurangan tarif impor resiprokal selama setidaknya 90 hari. Langkah ini menandai babak baru dalam hubungan bilateral yang sempat diwarnai perselisihan ekonomi yang berdampak signifikan terhadap pasar global.
Informasi mengenai pencabutan larangan tersebut pertama kali tersiar melalui laporan Reuters pada Selasa (13/5/2025), mengutip sumber dari Bloomberg. Sumber-sumber tersebut menyebutkan bahwa otoritas Beijing telah menginformasikan kepada maskapai penerbangan domestik dan lembaga pemerintah terkait, memberikan lampu hijau bagi penerimaan pengiriman pesawat Boeing. Meskipun demikian, baik Boeing maupun Administrasi Penerbangan Sipil China (CAAC) belum memberikan konfirmasi resmi terkait kabar tersebut.
Pencabutan larangan ini menjadi angin segar bagi Boeing yang sebelumnya menghadapi dampak signifikan dari perang tarif. Pada bulan April 2025, Boeing melaporkan bahwa sejumlah pelanggan di China telah menolak pengiriman pesawat baru akibat perang tarif yang diberlakukan. CEO Boeing, Kelly Ortberg, bahkan mengkonfirmasi hal ini kepada CNBC pada tanggal 24 April 2025, menyatakan bahwa sejumlah pesawat Boeing 737 Max yang berada di pusat penyelesaian di Zhoushan, China, terpaksa dikembalikan ke Amerika Serikat. "Mereka sebenarnya telah berhenti menerima pengiriman pesawat karena tarif," ujar Ortberg.
Situasi tersebut memaksa Boeing untuk mempertimbangkan strategi penjualan kembali puluhan pesawat yang tertahan di China. Namun, Ortberg tetap optimistis, menyatakan bahwa masih banyak maskapai penerbangan di negara lain yang membutuhkan pesawat Boeing 737 Max. Ia juga menegaskan bahwa dampak dari penolakan pengiriman di China tidak akan menghambat pemulihan perusahaan. "Ada banyak pelanggan di luar sana yang mencari pesawat Max. Kami tidak akan menunggu terlalu lama. Saya tidak akan membiarkan ini menggagalkan pemulihan perusahaan kami," tegasnya.
Kesepakatan gencatan senjata antara AS dan China, yang diumumkan pada Senin (12/5/2025), menandai upaya nyata untuk meredakan ketegangan yang telah berlangsung lama. Kedua negara sepakat untuk mengurangi tarif impor secara signifikan, lebih dari 100 poin persentase, hingga mencapai angka 10%. Langkah ini diharapkan dapat membuka jalan bagi negosiasi lebih lanjut dan solusi permanen atas sengketa perdagangan yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir.
Perang dagang antara AS dan China telah memicu ketidakpastian ekonomi global yang cukup besar. Sejak awal pemerintahannya pada Januari 2017, Presiden Trump telah menaikkan tarif impor barang-barang dari China hingga mencapai 145%, di samping tarif yang telah diberlakukan sebelumnya. Langkah ini dibalas oleh China dengan menaikkan tarif impor barang-barang AS hingga 125% dan membatasi ekspor beberapa komoditas strategis, termasuk yang terkait dengan industri pertahanan dan elektronik konsumen.
Esalasi perang tarif ini berdampak sangat signifikan pada perdagangan bilateral kedua negara yang mencapai hampir US$ 600 miliar. Gangguan rantai pasokan global, kekhawatiran akan resesi ekonomi, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan dari perang dagang tersebut. Pasar keuangan dunia pun mengalami gejolak yang cukup signifikan sebagai respons terhadap ketidakpastian ekonomi yang ditimbulkan.
Gencatan senjata sementara ini, meskipun hanya berlangsung selama 90 hari, diharapkan dapat memberikan ruang bagi kedua negara untuk mencari solusi yang lebih permanen dan saling menguntungkan. Pencabutan larangan impor pesawat Boeing oleh China menjadi sinyal positif awal yang menunjukkan adanya itikad baik dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan dan memulihkan hubungan ekonomi yang sehat. Namun, jalan menuju penyelesaian permanen masih panjang dan penuh tantangan, mengingat kompleksitas isu-isu perdagangan dan perbedaan kepentingan yang ada. Keberhasilan negosiasi selanjutnya akan menentukan apakah gencatan senjata ini akan berujung pada perdamaian ekonomi yang langgeng atau hanya menjadi penundaan sementara sebelum konflik kembali meletus. Dunia internasional akan terus memantau perkembangan situasi ini dengan seksama, mengingat dampaknya yang luas terhadap perekonomian global. Keberhasilan kedua negara dalam menyelesaikan perselisihan ini akan menjadi penentu stabilitas ekonomi global di masa mendatang.