Jakarta – Tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas, ditandai dengan langkah tak terduga dari Boeing, raksasa manufaktur pesawat asal AS. Dalam sebuah perkembangan yang mengisyaratkan eskalasi konflik ekonomi, Boeing mulai menarik kembali pesawat jet 737 MAX dari China, menunjukkan dampak signifikan dari kebijakan proteksionis yang diterapkan kedua negara. Data pelacakan penerbangan yang dirilis Reuters pada Sabtu (19/4/2025) mengkonfirmasi kepulangan sebuah pesawat 737 MAX ke AS pada Jumat (18/4/2025). Pesawat tersebut, yang sebelumnya berada di pusat penyelesaian Boeing di Zhoushan, China, teridentifikasi sebagai milik Xiamen Airlines, anak perusahaan China Southern Airlines. Foto-foto yang beredar di situs pelacakan penerbangan sejak Februari lalu menunjukkan livery Xiamen Airlines pada pesawat yang kini tengah dalam perjalanan kembali ke AS.
Insiden ini bukan sekadar pengembalian satu unit pesawat. Ia merupakan simbol gangguan signifikan dalam rantai pasokan dan perdagangan pesawat terbang antara kedua negara, sekaligus menjadi indikator kuat memburuknya hubungan bilateral di tengah perang tarif yang berkepanjangan. Ironisnya, beberapa minggu sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif baru pada 2 April 2025, tiga pesawat 737 MAX baru telah dikirim dari Seattle ke Zhoushan. Satu unit lagi bahkan tiba di Zhoushan minggu lalu, siap untuk menjalani tahap akhir penyelesaian, termasuk pemasangan interior dan pengecatan sebelum diserahkan kepada maskapai penerbangan China.
Namun, perubahan drastis terjadi. Salah satu pesawat dari pengiriman awal tersebut secara mengejutkan kembali ke AS, terbang sejauh 5.000 mil dari Zhoushan menuju Guam, sebelum melanjutkan perjalanan ke Seattle. Perjalanan panjang ini mengindikasikan sebuah keputusan strategis yang diambil Boeing di tengah tekanan politik dan ekonomi yang semakin meningkat.
Boeing sendiri memilih untuk bungkam dan menolak memberikan komentar resmi terkait insiden ini. Keheningan perusahaan tersebut semakin memperkuat spekulasi bahwa penarikan pesawat 737 MAX ini merupakan respons terhadap dampak negatif perang tarif yang dipicu oleh kebijakan proteksionis AS. Boeing menghadapi potensi larangan impor dari China, bagian dari rangkaian tindakan balasan yang dilakukan Beijing atas kebijakan tarif Trump.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah China atau media pemerintah terkait penarikan pesawat tersebut. Seorang sumber senior di industri penerbangan dan kedirgantaraan yang enggan disebutkan namanya menyatakan tidak mengetahui adanya instruksi resmi dari pemerintah China untuk menolak penerimaan pesawat Boeing. Namun, baik sumber tersebut maupun para analis industri sepakat bahwa kebijakan tarif yang diberlakukan China sebagai respons atas tindakan AS akan secara efektif memblokir impor pesawat, bahkan tanpa adanya larangan resmi. Kemungkinan besar, Boeing dan pemasoknya akan menghentikan pengiriman pesawat ke China untuk sementara waktu.
Publikasi penerbangan terkemuka, The Air Current, yang pertama kali melaporkan penarikan pesawat dari Zhoushan, menambahkan informasi yang lebih mengkhawatirkan. Laporan tersebut menyebutkan bahwa sebuah maskapai China, yang namanya dirahasiakan, telah membatalkan kontrak sewa pesawat Boeing. Ini menunjukkan dampak meluas dari perang dagang, yang tidak hanya mengganggu pengiriman pesawat baru, tetapi juga mempengaruhi kesepakatan bisnis di sektor penerbangan.
Situasi ini semakin rumit mengingat Boeing masih dalam proses pemulihan dari pembekuan impor jet 737 MAX selama hampir lima tahun, ditambah dengan serangkaian ketegangan perdagangan sebelumnya dan dampak pandemi COVID-19. Pabrik penyelesaian Boeing di Zhoushan, yang dibuka pada tahun 2018, berada di tengah-tengah pusat kargo utama di China, dekat dengan pelabuhan Ningbo, salah satu pelabuhan tersibuk di dunia. Pembukaan pabrik ini sendiri dilakukan di bawah bayang-bayang ketegangan perdagangan selama masa jabatan pertama Trump.
Secara historis, China merupakan pasar penting bagi Boeing, menyerap seperempat dari total pengiriman pesawatnya. Namun, angka ini telah menurun drastis akibat ketegangan perdagangan sebelumnya, krisis keselamatan 737 MAX, dan pandemi COVID-19. Laporan juga menyebutkan bahwa China telah meminta maskapai penerbangannya untuk menghentikan pembelian suku cadang pesawat buatan AS, sebuah langkah yang berpotensi melumpuhkan operasional maskapai penerbangan di China mengingat ketergantungan besar pada komponen-komponen tersebut.
Dua sumber industri AS yang dihubungi menyatakan tidak menerima instruksi resmi untuk menghentikan pengiriman suku cadang ke China. Sumber lain, yang mengelola bengkel perawatan dan perbaikan pesawat di China, mengatakan tidak mengalami masalah dalam mengimpor suku cadang AS. Namun, Kementerian Luar Negeri China hanya memberikan tanggapan singkat dan merujuk pertanyaan terkait pelarangan impor kepada otoritas yang berwenang.
Penarikan pesawat 737 MAX dari China oleh Boeing merupakan peristiwa penting yang menunjukkan betapa perang dagang AS-China telah mencapai titik kritis. Dampaknya tidak hanya terbatas pada industri penerbangan, tetapi juga berpotensi mengganggu rantai pasokan global dan memperburuk hubungan bilateral antara kedua negara adidaya tersebut. Ke depan, perkembangan situasi ini patut dipantau dengan cermat, mengingat potensi eskalasi konflik dan dampaknya terhadap perekonomian global. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perang dagang ini mengancam stabilitas ekonomi dan menciptakan tantangan signifikan bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di kedua pasar.