Jakarta, 30 April 2025 – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui adanya ketimpangan signifikan dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) dan subsidi pemerintah. Data yang diungkap Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menunjukkan proporsi yang mengkhawatirkan: sejumlah besar dana publik justru dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu, bukan mereka yang seharusnya menjadi target utama.
Pengakuan ini disampaikan Suahasil dalam konferensi pers APBN KiTa di kantor Kemenkeu. Ia menjelaskan bahwa pengelompokan masyarakat berdasarkan desil pendapatan, dengan desil 1-6 mewakili kelompok miskin dan rentan, sementara desil 7-10 mewakili kelompok mampu hingga kaya. Analisis data menunjukkan adanya penyimpangan yang cukup signifikan dalam berbagai program unggulan pemerintah.
Program Keluarga Harapan (PKH): Meskipun mayoritas penerima PKH (81,6% atau Rp 6 triliun) berasal dari desil 1-6, angka 18,4% (Rp 3,2 triliun) yang diterima kelompok desil 7-10 menunjukkan adanya kebocoran yang cukup besar. Artinya, sejumlah dana yang seharusnya ditujukan untuk pengentasan kemiskinan justru mengalir ke kantong masyarakat mampu.
Bantuan Kartu Sembako: Tren serupa terlihat pada penyaluran Bantuan Kartu Sembako. Sekitar 71,1% (Rp 7,8 triliun) dana tersalurkan ke desil 1-6, namun 28,9% (Rp 3,2 triliun) diterima oleh desil 7-10. Proporsi ini mengindikasikan adanya potensi penyelewengan dan inefisiensi dalam penyaluran bantuan pangan tersebut.
Program Indonesia Pintar (PIP): Program PIP yang bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan anak-anak dari keluarga kurang mampu juga menunjukkan ketimpangan. Meskipun 80,4% (Rp 1,2 triliun) dana tersalurkan ke desil 1-6, kelompok desil 7-10 masih menerima 19,6% (Rp 300 miliar) dari total anggaran. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penyaluran PIP agar lebih tepat sasaran.
Subsidi LPG 3 Kg: Subsidi energi menjadi sorotan utama. Data menunjukkan bahwa subsidi LPG 3 kg, yang seharusnya ditujukan untuk masyarakat miskin, dinikmati oleh 38,4% (Rp 5,4 triliun) dari kelompok desil 7-10. Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan beberapa program bansos lainnya. Sementara itu, desil 1-6 hanya menerima 61,6% (Rp 8,7 triliun) dari total subsidi. Hal ini mengindikasikan adanya potensi penyalahgunaan subsidi oleh masyarakat mampu.
Subsidi Solar: Lebih mengejutkan lagi, subsidi solar justru didominasi oleh kelompok desil 7-10, mencapai 79,1% (Rp 700 miliar) dari total anggaran. Hanya 20,9% (Rp 200 miliar) yang diterima oleh desil 1-6. Kondisi ini menunjukkan adanya distorsi yang sangat signifikan dalam penyaluran subsidi energi, yang berpotensi merugikan keuangan negara dan menghambat pemerataan kesejahteraan.
Program Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN: Bahkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan untuk menjamin akses kesehatan bagi seluruh masyarakat juga menunjukkan ketimpangan. Kelompok desil 7-10 menerima 26,6% (Rp 3,1 triliun) dari total anggaran PBI JKN, sementara desil 1-6 menerima 73,4% (Rp 6,5 triliun). Meskipun proporsi penerima dari kelompok miskin lebih besar, angka 26,6% untuk desil 7-10 tetap menunjukkan adanya potensi inefisiensi dan ketidaktepatan sasaran.
Subsidi Pupuk: Subsidi pupuk juga menunjukkan tren serupa. Kelompok desil 7-10 menerima 26,4% (Rp 5,4 triliun) dari total subsidi pupuk, sementara desil 1-6 menerima 73,2% (Rp 6,3 triliun). Hal ini menunjukan perlunya perbaikan mekanisme penyaluran subsidi pupuk agar lebih tepat sasaran dan efektif dalam meningkatkan produktivitas pertanian.
Subsidi Listrik: Terakhir, subsidi listrik juga menunjukkan adanya ketimpangan. Sekitar 32,7% (Rp 5,4 triliun) dari total subsidi listrik dinikmati oleh kelompok desil 7-10, sementara 67,3% (Rp 11,2 triliun) diterima oleh desil 1-6. Meskipun proporsi penerima dari kelompok miskin lebih besar, angka 32,7% untuk desil 7-10 tetap menjadi perhatian serius.
Suahasil Nazara mengakui bahwa pemerintah menyadari perlunya perbaikan sistem penyaluran bansos dan subsidi. Ia menekankan komitmen pemerintah untuk menciptakan program yang lebih targeted, lebih efektif, dan memastikan bahwa bantuan tersebut benar-benar sampai kepada kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Namun, pengakuan ini juga menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penyaluran, identifikasi akar masalah kebocoran data, dan penegakan hukum yang tegas terhadap potensi penyelewengan. Ke depan, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik menjadi kunci untuk memastikan efektivitas dan keadilan dalam penyaluran bansos dan subsidi. Tanpa perbaikan sistemik, ketimpangan ini akan terus menghambat upaya pemerintah dalam mewujudkan pemerataan kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan sosial di Indonesia.