Jakarta, 13 Mei 2025 – Pasar kripto kembali bergairah seiring meredanya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Bitcoin, mata uang kripto terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar, mencetak rekor baru dengan menembus level US$105.800 atau setara Rp1,74 miliar (kurs Rp16.500/US$) pada perdagangan Senin (12/5/2025). Kenaikan dramatis ini didorong oleh kesepakatan sementara kedua negara untuk menurunkan tarif impor, sebuah perkembangan yang disambut positif oleh pelaku pasar.
Kesepakatan tersebut, yang diumumkan dalam pernyataan bersama setelah perundingan di Swiss, mencakup pemangkasan tarif secara signifikan. AS memangkas tarif dari 145% menjadi 30%, sementara China menurunkan bea masuk dari 125% menjadi 10%. Pemangkasan total mencapai 115%, menandai penurunan signifikan dalam ketegangan dagang yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir dan menimbulkan ketidakpastian ekonomi global.
Dampak positif kesepakatan ini langsung terasa di pasar kripto. Menurut Panji Yudha, Financial Expert Ajaib, sentimen positif menyebar luas, mendorong sebagian besar altcoin (mata uang kripto selain Bitcoin) mengalami kenaikan tajam. Bitcoin sendiri mencatat kenaikan 8,27% pada Senin, mencapai titik tertinggi dalam hampir empat bulan sebelum mengalami koreksi tipis ke sekitar US$102.827.
Kenaikan Bitcoin bahkan terlampaui oleh Ethereum, mata uang kripto berbasis teknologi blockchain yang telah mengalami peningkatan signifikan pasca upgrade Pectra. Ethereum melesat 35,86% pada Senin, menyentuh angka US$2.600 sebelum terkoreksi ke US$2.465 pada Selasa pagi pukul 08.00 WIB.
"Ketegangan global yang mereda telah membuka ruang bagi aset kripto untuk reli dalam beberapa hari terakhir," ujar Panji dalam keterangan resminya. "Meskipun demikian, investor perlu tetap waspada terhadap aksi profit taking jangka pendek. Dari analisa teknikal, momentum bullish berpotensi berlanjut apabila Bitcoin mampu bertahan di atas Moving Average 20 periode (MA-20) di US$97.645 dan support psikologis US$100.000," tambahnya.
Meskipun minat terhadap Exchange Traded Fund (ETF) spot Bitcoin di AS menunjukkan sedikit pelemahan, aliran dana dari institusi tetap menunjukkan tren positif. Sepanjang pekan lalu (5-9 Mei), total dana yang masuk ke ETF Bitcoin AS mencapai US$599 juta, angka yang lebih rendah dibandingkan pekan sebelumnya (US$1,81 miliar). Namun, menurut Panji, angka tersebut masih mencerminkan permintaan institusional yang stabil, terutama mengingat harga Bitcoin yang tetap tinggi. Aliran dana yang sempat melonjak hingga US$3 miliar pada akhir April menunjukkan potensi akumulasi yang belum sepenuhnya mereda.
"Pelemahan inflow saat ini berpotensi menjadi fase konsolidasi sebelum masuknya gelombang akumulasi berikutnya dari pelaku institusi," jelas Panji.
Fokus investor kini beralih ke rilis data inflasi AS, khususnya Indeks Harga Konsumen (CPI) untuk bulan April yang dijadwalkan pada 13 Mei. Proyeksi saat ini menunjukkan penurunan tahunan ke 2,3%. Jika sesuai ekspektasi, hal ini akan memperkuat pandangan bahwa inflasi AS tengah melandai, membuka peluang bagi kebijakan suku bunga yang lebih longgar dari Federal Reserve (The Fed).
Data CPI Maret yang dirilis pada 10 April menunjukkan penurunan ke 2,4% dari 2,8% pada Februari, lebih rendah dari ekspektasi 2,5%. Jika data April kembali menunjukkan penurunan, ini akan menjadi kejutan positif ketiga secara berturut-turut dan berpotensi menjadi katalis bagi kenaikan Bitcoin.
"Penurunan inflasi berpotensi menjadi katalis bagi Bitcoin untuk melanjutkan tren naik, terutama jika tidak ada gangguan baru dari sisi geopolitik atau kebijakan dagang," kata Panji. "Namun, jika CPI justru naik di atas perkiraan, hal ini bisa memicu penguatan dolar dan tekanan jual pada aset berisiko termasuk kripto."
Meskipun sentimen pasar membaik, The Fed tetap berhati-hati. Ketua The Fed, Jerome Powell, menegaskan bahwa penurunan suku bunga belum dapat dipastikan dan diperlukan waktu untuk mengevaluasi dampak ekonomi dari kebijakan tarif.
Namun, faktor likuiditas tetap mendukung pasar. Departemen Keuangan AS terus menyuntikkan dolar ke dalam sistem keuangan, sementara cadangan Bitcoin di bursa tercatat menyentuh level terendah dalam tujuh tahun terakhir. Kondisi ini menciptakan lingkungan yang relatif kondusif bagi pertumbuhan harga Bitcoin.
Dengan dinamika pasar saat ini, pasar kripto berada dalam posisi yang relatif kuat untuk melanjutkan penguatan. Namun, potensi volatilitas tetap ada, terutama menjelang rilis data inflasi dan perkembangan makro lainnya.
"Jumlah pasokan Bitcoin yang semakin terbatas, didukung mekanisme halving, di tengah likuiditas yang tinggi berpotensi mendukung kelanjutan tren naik Bitcoin dalam beberapa pekan ke depan," pungkas Panji. "Selain itu, potensi pemotongan suku bunga akan menjadi katalis yang dapat mendorong Bitcoin mencetak harga tertinggi baru melampaui US$109.000."
Kesimpulannya, kenaikan tajam Bitcoin hingga menembus Rp1,7 miliar merupakan refleksi dari berbagai faktor, termasuk meredanya perang tarif AS-China, peningkatan sentimen pasar, dan ekspektasi penurunan inflasi AS. Namun, investor tetap perlu mencermati perkembangan ekonomi makro dan data inflasi untuk mengantisipasi potensi volatilitas di masa mendatang.