Washington D.C., 16 Mei 2025 – Keputusan kontroversial Presiden Donald Trump pada Januari lalu untuk memangkas drastis program bantuan global Amerika Serikat (AS) kini berbuah petaka. Ribuan ton bantuan pangan, hasil jerih payah petani dan produsen Amerika, terlantar dan menumpuk di empat gudang milik pemerintah AS, terancam membusuk dan sia-sia. Informasi ini terungkap berdasarkan investigasi Reuters yang melibatkan wawancara dengan tiga mantan pejabat Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) dan dua sumber dari organisasi bantuan lainnya.
Gudang-gudang yang terletak di Djibouti, Afrika Selatan, Dubai, dan Houston, di bawah naungan Biro Bantuan Kemanusiaan USAID, menyimpan antara 60.000 hingga 66.000 metrik ton makanan. Daftar inventaris yang diperoleh Reuters, dan diverifikasi oleh sumber pemerintah AS, menunjukkan komoditas yang menumpuk tersebut terdiri dari biskuit berenergi tinggi, minyak sayur, dan biji-bijian yang difortifikasi. Nilai total persediaan ini diperkirakan mencapai lebih dari US$ 98 juta. Ironisnya, makanan ini, yang seharusnya menjadi penolong bagi jutaan jiwa yang kelaparan di dunia, kini terancam menjadi sampah.
Dua sumber yang dekat dengan masalah ini mengungkapkan bahwa sebagian besar stok, dengan tanggal kadaluwarsa paling cepat Juli 2025, kemungkinan besar akan dimusnahkan. Opsi yang dipertimbangkan termasuk pembakaran, penggunaan sebagai pakan ternak, atau pembuangan dengan metode lain yang sesuai. Ini merupakan kerugian ekonomi yang sangat besar, sekaligus pukulan telak bagi reputasi AS dalam memberikan bantuan kemanusiaan.
Satu ton makanan, yang biasanya terdiri dari sereal, kacang-kacangan, dan minyak, dapat memenuhi kebutuhan harian sekitar 1.660 orang, menurut data PBB. Dengan demikian, jumlah bantuan pangan yang terlantar ini berpotensi untuk memberi makan jutaan orang selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Namun, karena kebijakan pemotongan yang diambil oleh pemerintahan Trump, potensi penyelamat jiwa ini kini terancam menjadi beban ekonomi dan lingkungan yang sia-sia.
Para mantan pejabat USAID yang diwawancarai Reuters menggambarkan situasi ini sebagai "bencana terpendam" yang diakibatkan oleh keputusan politik yang ceroboh. Mereka menuding kebijakan pemotongan yang mendadak dan tanpa perencanaan matang sebagai penyebab utama masalah ini. Proses distribusi bantuan pangan yang terencana dan terintegrasi, yang selama ini berjalan efektif, tiba-tiba terhenti, mengakibatkan penumpukan stok yang tidak terkendali.
Kegagalan dalam perencanaan dan koordinasi antar lembaga pemerintah AS juga menjadi sorotan. Kurangnya antisipasi terhadap dampak pemotongan program bantuan global menyebabkan penumpukan stok yang tidak terkelola, meningkatkan risiko pembusukan dan kerugian finansial yang signifikan. Kehilangan kepercayaan dari negara-negara penerima bantuan juga menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.
Lebih jauh lagi, kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tata kelola dan akuntabilitas dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan AS. Kehilangan puluhan juta dolar AS akibat pembusukan makanan bukan hanya kerugian finansial semata, tetapi juga mencerminkan inefisiensi dan kurangnya perencanaan yang matang dalam kebijakan pemerintah.
Situasi ini juga menggarisbawahi dilema etika dan moral yang dihadapi oleh pemerintah AS. Di satu sisi, pemerintah berupaya untuk menghemat anggaran dengan memangkas program bantuan. Di sisi lain, keputusan tersebut mengakibatkan pemborosan sumber daya yang signifikan dan hilangnya kesempatan untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Para ahli dan aktivis kemanusiaan mengecam keras kebijakan pemotongan tersebut. Mereka berpendapat bahwa bantuan pangan merupakan instrumen penting dalam upaya memerangi kemiskinan dan kelaparan di dunia, dan pemotongan tersebut merupakan langkah mundur yang merugikan banyak pihak. Mereka mendesak pemerintah AS untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan bantuan globalnya dan memastikan agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Ke depan, perlu dilakukan investigasi yang lebih mendalam untuk mengungkap seluruh aspek dari masalah ini, termasuk penyelidikan terhadap kemungkinan penyimpangan dan pelanggaran dalam proses pengadaan dan distribusi bantuan pangan. Transparansi dan akuntabilitas mutlak diperlukan untuk mencegah terulangnya skandal ini dan memastikan bahwa bantuan kemanusiaan AS digunakan secara efektif dan efisien.
Kasus penumpukan bantuan pangan ini bukan hanya sekadar masalah logistik, tetapi juga cerminan dari kebijakan pemerintah AS yang kurang terencana dan berdampak buruk bagi mereka yang paling membutuhkan. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya perencanaan yang matang, koordinasi antar lembaga, dan akuntabilitas dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan. Harapannya, kejadian ini akan menjadi momentum untuk reformasi dan perbaikan sistem bantuan global AS agar lebih efektif dan berkelanjutan. Nasib jutaan orang yang kelaparan di dunia seharusnya tidak dipertaruhkan oleh keputusan politik yang ceroboh dan kurang pertimbangan.