Jakarta, 8 April 2025 – Gelombang ketidakpastian ekonomi global kembali mengguncang, kali ini dipicu oleh prediksi resesi di Amerika Serikat (AS). Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia, yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas potensi dampak negatif kebijakan ekonomi AS terhadap perekonomian Indonesia dan dunia. Berdasarkan laporan dari raksasa finansial internasional, J.P. Morgan dan Goldman Sachs, probabilitas AS memasuki jurang resesi kini telah meningkat signifikan hingga mencapai 60%, melonjak dari angka di bawah 50% sebelumnya. Kenaikan signifikan ini menjadi sinyal bahaya yang patut diwaspadai.
Sri Mulyani menekankan bahwa prediksi resesi AS ini bukanlah sekadar spekulasi, melainkan hasil analisis mendalam dari lembaga keuangan terkemuka dunia. Keputusan-keputusan ekonomi, khususnya kebijakan tarif impor yang diterapkan di masa pemerintahan Presiden Donald Trump, dinilai sebagai salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko resesi tersebut. Dampaknya pun terasa secara global, termasuk Indonesia.
"J.P. Morgan, Goldman Sachs, semuanya mengatakan bahwa Amerika kemungkinan masuk ke resesi, probabilitanya sekarang naik ke 60%, dari tadinya di bawah 50%," tegas Sri Mulyani. "Dengan outlook seperti itu, tidak heran maka commodity price menurun, karena nanti demand turun kalau terjadi resesi."
Ancaman resesi AS ini berdampak langsung pada harga komoditas global. Penurunan permintaan akibat resesi akan menekan harga berbagai komoditas, termasuk minyak mentah, yang saat ini berada di kisaran US$ 64-65 per barrel. Angka ini jauh lebih rendah daripada asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia yang menetapkan harga minyak mentah sebesar US$ 80 per barrel. Kondisi ini, meskipun berpotensi mengurangi beban subsidi pemerintah, tetap menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
"Saat ini harga minyak mentah berada di kisaran US$ 64-65 per barrel, lebih rendah dari asumsi APBN yang sebesar US$ 80 per barrel. Artinya subsidi yang dikeluarkan pemerintah bakal lebih rendah," jelas Sri Mulyani. "Moga-moga kita tetap jaga, ini juga membuat APBN kita menjadi relatively, menjadi berkurang tekanannya, meskipun nilai tukar kita agak di atas dari asumsi."
Namun, bukan hanya minyak mentah yang terdampak. Meskipun harga Crude Palm Oil (CPO) menunjukkan tren positif, harga batu bara justru mengalami tekanan dan berada di bawah US$ 100 per ton. Sementara itu, harga tembaga (copper) masih relatif stabil, namun harga nikel mengalami penurunan. Kondisi ini menunjukkan kompleksitas dampak resesi AS terhadap komoditas ekspor Indonesia.
Di tengah ketidakpastian ini, Sri Mulyani menyoroti kinerja sektor manufaktur Indonesia yang masih menunjukkan ekspansi, meskipun tipis. Indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur berada di level 52,3, menunjukkan aktivitas manufaktur masih tumbuh, meskipun lajunya melambat. Hal ini menunjukkan resiliensi sektor manufaktur Indonesia di tengah gejolak ekonomi global.
"Aktivitas manufacturing sampai hari ini masih di ekspansi tapi tipis di 52,3. Tadi telah disampaikan Pak Menko, Indonesia masih di atas 52, berarti kita masih ekspansif," ungkap Sri Mulyani. "Kemarin kita sempat turun tapi kemudian kita naik secara cepat sekali. Ini menggambarkan cukup resilience dari sektor manufaktur di Indonesia."
Meskipun sektor manufaktur menunjukkan ketahanan, ancaman resesi AS tetap menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Potensi penurunan permintaan global akan berdampak pada kinerja ekspor Indonesia, yang bergantung pada komoditas dan produk manufaktur. Pemerintah perlu mempersiapkan strategi mitigasi risiko untuk menghadapi potensi penurunan ekonomi global, termasuk diversifikasi pasar ekspor dan penguatan daya saing produk dalam negeri.
Kesimpulannya, prediksi resesi AS yang disampaikan oleh J.P. Morgan dan Goldman Sachs menimbulkan kekhawatiran yang signifikan terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Meskipun sektor manufaktur Indonesia menunjukkan ketahanan, pemerintah perlu waspada dan proaktif dalam mengantisipasi dampak negatif potensi resesi tersebut. Pemantauan ketat terhadap perkembangan ekonomi global dan penerapan strategi mitigasi risiko yang tepat menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian yang sedang terjadi. Ke depan, perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengkaji secara komprehensif potensi dampak resesi AS terhadap berbagai sektor ekonomi Indonesia dan merumuskan kebijakan yang tepat sasaran untuk menghadapi tantangan tersebut. Keterbukaan informasi dan koordinasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga internasional menjadi krusial dalam menghadapi situasi ini.