Jakarta, 27 Mei 2025 – Gelombang PHK yang melanda Indonesia diperkirakan akan semakin membesar di tahun 2025. Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Ketenagakerjaan memprediksi angka pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mencapai angka yang mengkhawatirkan, yakni 280 ribu orang. Prediksi ini dilontarkan menyusul peningkatan signifikan angka PHK dalam beberapa bulan terakhir, memicu kekhawatiran dan reaksi keras dari kalangan buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, menyatakan keprihatinannya dan memberikan pandangan yang cukup pesimistis terkait prediksi tersebut. Dalam wawancara eksklusif dengan detikcom, Ristadi menyatakan keyakinannya bahwa prediksi tersebut memiliki probabilitas tinggi untuk menjadi kenyataan. "Saya meyakini 80% prediksi ini akan terjadi, terutama jika pemerintah tidak segera mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan industri padat karya di dalam negeri," tegasnya.
Ristadi menekankan pentingnya peran pemerintah dalam melindungi industri padat karya, yang menjadi tulang punggung perekonomian dan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Menurutnya, kunci utama untuk mencegah lonjakan PHK adalah mengamankan pasar domestik. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap barang impor, khususnya barang-barang yang memiliki harga jual lebih rendah dan mampu mengalahkan produk dalam negeri. Kebijakan protektif ini, menurut Ristadi, sangat krusial untuk mencegah banjir barang impor yang mengancam kelangsungan industri dalam negeri.
Selain itu, Ristadi juga menyoroti faktor penurunan daya beli masyarakat sebagai pemicu utama penurunan produktivitas industri. Penurunan daya beli ini, menurutnya, menciptakan lingkaran setan yang berdampak negatif terhadap industri. "Jika daya beli masyarakat turun, maka konsumsi masyarakat juga akan turun. Akibatnya, penyerapan barang dari industri akan menurun, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan produktivitas perusahaan," jelasnya. Kondisi ini, lanjutnya, memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi, dan PHK menjadi pilihan terakhir yang seringkali terpaksa diambil.
Pemerintah, menurut Ristadi, telah mengakui adanya penurunan daya beli masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan diluncurkannya enam paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Paket kebijakan tersebut mencakup berbagai insentif, mulai dari diskon transportasi dan tarif tol, diskon tarif listrik, bantuan pangan, subsidi upah, hingga perpanjangan diskon iuran jaminan kecelakaan kerja.
"Pemerintah telah mengeluarkan enam paket subsidi untuk masyarakat menengah ke bawah. Ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari situasi yang sedang terjadi. Namun, jika kondisi ini tidak segera membaik, maka prediksi PHK sebanyak 280 ribu pekerja dari BPJS Ketenagakerjaan sangat mungkin terjadi," tegas Ristadi.
Lebih lanjut, Ristadi menyoroti fakta bahwa angka PHK yang sebenarnya jauh lebih besar daripada data klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dilaporkan BPJS Ketenagakerjaan. Data BPJS Ketenagakerjaan mencatat sekitar 52 ribu klaim JKP, namun Ristadi meyakini angka tersebut tidak merepresentasikan jumlah PHK secara keseluruhan.
"Angka PHK yang dilaporkan BPJS Ketenagakerjaan hanya mencakup pekerja yang terdaftar sebagai peserta BPJS. Banyak pekerja yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS juga menjadi korban PHK, sehingga angka sebenarnya jauh lebih tinggi dari 52 ribu," ungkap Ristadi. Ia menambahkan bahwa sektor padat karya menjadi sektor yang paling rentan terhadap PHK, dan angka PHK di sektor ini diperkirakan akan terus meningkat jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan.
Kesimpulannya, ancaman PHK massal di Indonesia pada tahun 2025 merupakan ancaman nyata yang memerlukan penanganan serius dari pemerintah. Prediksi 280 ribu PHK yang dilontarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan bukanlah angka yang bisa dianggap enteng. Pemerintah perlu segera merumuskan dan mengimplementasikan strategi yang komprehensif untuk menyelamatkan industri padat karya, meningkatkan daya beli masyarakat, dan menciptakan lapangan kerja baru. Jika tidak, Indonesia akan menghadapi krisis ketenagakerjaan yang berdampak luas pada stabilitas sosial dan ekonomi negara. Peran aktif serikat pekerja dan dialog konstruktif antara pemerintah, pengusaha, dan buruh sangat krusial dalam menghadapi tantangan ini dan mencari solusi yang berkelanjutan. Kegagalan dalam menangani masalah ini akan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan dan ketidakstabilan sosial yang lebih luas.