Jakarta, 30 Mei 2025 – Pemerintah Republik Indonesia berencana menyalurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp 300.000 kepada 17 juta pekerja pada bulan Juni 2025. Bantuan ini, yang merupakan akumulasi dari subsidi Rp 150.000 per bulan selama Juni dan Juli, bertujuan untuk mendongkrak daya beli masyarakat dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, langkah pemerintah ini menuai kritik dari kalangan ekonom yang menilai besaran bantuan tersebut terlalu kecil dan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa angka Rp 300.000 jauh dari ideal untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang dihadapi pekerja bergaji rendah. Menurut Bhima, bantuan yang efektif seharusnya mencapai setidaknya 30% dari gaji penerima, atau sekitar Rp 1 juta bagi pekerja dengan gaji Rp 3,5 juta per bulan. "Subsidi upah sebesar Rp 150.000 per bulan, atau Rp 300.000 untuk dua bulan, terlalu kecil untuk mendorong konsumsi rumah tangga secara berarti," tegas Bhima dalam wawancara dengan detikcom, Kamis (29/5/2025). Ia menambahkan bahwa dampaknya terhadap peningkatan daya beli dan pertumbuhan ekonomi akan sangat terbatas.
Kritik Bhima bukan tanpa dasar. Tingkat inflasi yang masih relatif tinggi dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif di berbagai sektor ekonomi menjadi tantangan tersendiri. Bantuan sebesar Rp 300.000 dinilai tidak cukup untuk meringankan beban pekerja yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi akibat inflasi dan ancaman kehilangan pekerjaan. Lebih lanjut, Bhima juga menyoroti perlunya pemerintah memperluas cakupan penerima BSU. "Pengalaman pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa pekerja informal terabaikan karena pemerintah masih bergantung pada data BPJS Ketenagakerjaan," ujarnya. Hal ini menunjukkan kelemahan sistem penyaluran bantuan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan.
Sementara itu, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (27/5/2025), menjelaskan bahwa BSU akan diberikan kepada sekitar 17 juta pekerja dengan gaji maksimal Rp 3,5 juta per bulan atau sesuai Upah Minimum Provinsi/Kota/Kabupaten (UMP/UMK) yang berlaku. Selain itu, program ini juga akan menjangkau 3,4 juta guru honorer. Penyaluran BSU untuk guru honorer ini akan diberikan selama dua bulan (Juni-Juli 2025), namun tetap akan dicairkan sekaligus pada bulan Juni. Susiwijono menekankan bahwa mekanisme penyaluran BSU akan dikoordinasikan oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan (untuk pekerja formal), serta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Agama (untuk guru honorer).
Meskipun pemerintah telah menetapkan kriteria penerima BSU, pertanyaan mengenai efektivitas program ini tetap relevan. Bantuan yang bersifat sementara dan nominalnya yang relatif kecil dikhawatirkan tidak akan memberikan solusi jangka panjang terhadap permasalahan ekonomi yang kompleks. Program ini lebih tepat dilihat sebagai upaya penanggulangan dampak ekonomi jangka pendek, bukan sebagai solusi struktural untuk mengatasi masalah pengangguran dan ketimpangan ekonomi.
Lebih jauh lagi, keberhasilan BSU juga bergantung pada kecepatan dan transparansi penyalurannya. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa proses penyaluran bantuan sosial seringkali dihadapkan pada berbagai kendala, mulai dari verifikasi data penerima hingga proses pencairan dana. Kecepatan dan transparansi dalam penyaluran akan sangat menentukan keberhasilan program ini dalam mencapai tujuannya.
Selain besaran bantuan yang dinilai kurang memadai, kekurangan lain dari program ini adalah kurangnya perhatian terhadap pekerja informal. Sektor informal merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, namun seringkali terpinggirkan dalam program bantuan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah untuk menjangkau pekerja informal menunjukkan adanya celah dalam sistem perlindungan sosial nasional. Pemerintah perlu mengembangkan strategi yang lebih komprehensif untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk pekerja informal, agar program bantuan sosial dapat memberikan dampak yang lebih luas dan merata.
Kesimpulannya, Bantuan Subsidi Upah sebesar Rp 300.000 ini merupakan upaya pemerintah untuk meringankan beban pekerja bergaji rendah. Namun, efektivitasnya patut dipertanyakan mengingat besaran bantuan yang dinilai terlalu kecil dan kurangnya perhatian terhadap pekerja informal. Program ini perlu diiringi dengan kebijakan ekonomi yang lebih komprehensif, seperti peningkatan lapangan kerja dan program perlindungan sosial yang lebih inklusif, untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang lebih struktural. Tanpa langkah-langkah tersebut, BSU hanya akan menjadi tambal sulam ekonomi yang dampaknya terbatas dan tidak berkelanjutan. Pemerintah perlu mengevaluasi secara berkala efektivitas program ini dan melakukan penyesuaian agar bantuan sosial yang diberikan benar-benar dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.