Jakarta, 21 Maret 2025 – Raksasa perlengkapan olahraga asal Amerika Serikat, Nike, tengah berjuang menghadapi badai penurunan penjualan. Laporan keuangan kuartal IV 2024 menunjukkan penurunan penjualan global sebesar 9%, dengan pukulan terberat terjadi di pasar China yang mengalami penurunan penjualan hingga 17%. Di Amerika Utara, pasar terbesar Nike, penjualan juga merosot tajam hingga 9%, menunjukkan gambaran suram bagi perusahaan yang selama ini mendominasi industri. Kondisi ini turut tercermin dalam pergerakan saham Nike (NKE) yang telah anjlok sekitar 30% sepanjang tahun lalu, meskipun sempat mengalami kenaikan tipis 4% pada perdagangan Kamis (20/3).
Anjloknya penjualan Nike bukan tanpa sebab. Sejumlah faktor saling terkait dan berkontribusi terhadap kinerja yang mengecewakan ini. Pertama, perlambatan konsumsi global yang signifikan turut menekan daya beli konsumen, khususnya untuk barang-barang non-esensial seperti sepatu dan pakaian olahraga kelas atas. Konsumen cenderung mengalihkan pengeluaran mereka ke barang-barang kebutuhan pokok, meninggalkan produk-produk Nike yang selama ini identik dengan harga premium.
Faktor kedua yang tak kalah penting adalah meningkatnya persaingan di pasar sepatu lari. Munculnya merek-merek pendatang baru seperti Hoka dan On, yang menawarkan produk berkualitas dengan harga yang lebih kompetitif, telah menggerus pangsa pasar Nike. Merek-merek ini berhasil merebut hati konsumen dengan strategi pemasaran yang tepat sasaran dan produk yang inovatif, menantang dominasi Nike yang selama ini dianggap tak tergoyahkan. Pergeseran preferensi konsumen ini menjadi tantangan serius bagi Nike yang harus beradaptasi dengan cepat untuk mempertahankan posisinya.
Selain tekanan eksternal, Nike juga harus berhadapan dengan dampak negatif dari strategi internal yang dinilai keliru. Dalam beberapa tahun terakhir, Nike mengambil keputusan untuk memangkas jumlah pengecer pihak ketiga yang menjadi mitra distribusi mereka, termasuk jaringan ritel besar seperti DSW. Strategi ini bertujuan untuk mengalihkan lebih banyak inventaris ke saluran penjualan langsung, terutama melalui platform daring. Namun, perubahan mendadak dan agresif ini justru berdampak kontraproduktif, mengakibatkan penurunan penjualan yang signifikan. Keputusan ini dinilai terlalu terburu-buru dan meremehkan peran penting pengecer pihak ketiga dalam menjangkau konsumen yang lebih luas.
"Nike bertindak terlalu jauh dan meremehkan pentingnya pengecer pihak ketiga," ungkap Neil Saunders, analis di GlobalData Retail, dalam sebuah catatan kepada klien pada Juni 2024. Pernyataan ini menggarisbawahi kesalahan perhitungan strategi Nike yang mengakibatkan terganggunya rantai pasokan dan keterbatasan akses bagi konsumen ke produk-produk mereka. Akibatnya, Nike terpaksa kembali menjalin kemitraan dengan beberapa pengecer yang sebelumnya telah diputus hubungannya, sebuah langkah yang menunjukkan koreksi atas kesalahan strategi tersebut.
Untuk membalikkan tren negatif ini, Nike tengah berupaya keras melakukan berbagai strategi pemulihan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menjalin kemitraan merek dengan selebriti ternama. Kolaborasi dengan Skims, merek fesyen milik Kim Kardashian, diharapkan dapat mendongkrak penjualan dan citra merek Nike. NikeSkims, lini produk baru yang dirancang khusus untuk wanita, akan diluncurkan di Amerika Serikat pada musim semi ini. Kolaborasi ini diharapkan dapat menarik segmen pasar baru dan meningkatkan daya tarik produk Nike di kalangan konsumen muda.
Namun, tantangan yang dihadapi Nike tidaklah mudah. Perusahaan harus mampu mengatasi perlambatan ekonomi global, persaingan yang semakin ketat, dan memperbaiki strategi distribusi yang sempat mengalami kesalahan perhitungan. Keberhasilan Nike dalam menghadapi tantangan ini akan menentukan masa depan perusahaan di industri perlengkapan olahraga yang semakin kompetitif. Kemampuan Nike untuk berinovasi, beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan perilaku konsumen, dan membangun kembali kepercayaan pasar akan menjadi penentu keberhasilannya dalam memulihkan kinerja keuangan dan mempertahankan posisinya sebagai pemimpin pasar.
Anjloknya penjualan Nike menjadi pelajaran berharga bagi perusahaan-perusahaan besar lainnya. Strategi yang terlalu agresif dan kurang memperhitungkan faktor eksternal dapat berdampak negatif, bahkan mengancam keberlangsungan bisnis. Kemampuan untuk membaca tren pasar, beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen, dan membangun hubungan yang kuat dengan mitra bisnis merupakan kunci keberhasilan dalam persaingan bisnis yang semakin dinamis. Nike, dengan reputasi dan sumber daya yang dimilikinya, masih memiliki peluang untuk bangkit kembali. Namun, perlu strategi yang terukur, inovatif, dan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan yang ada dan merebut kembali kepercayaan konsumen. Jalan menuju pemulihan bagi Nike masih panjang dan penuh tantangan.