Jakarta, 12 April 2025 – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali melontarkan ancaman proteksionis yang berpotensi mengguncang industri farmasi global. Dalam pernyataan kontroversial yang disampaikan Selasa (8/4) malam waktu setempat dan dikutip oleh Fox Business, Trump menyatakan akan mengenakan tarif impor yang sangat tinggi, bahkan hingga 200%, untuk produk farmasi yang masuk ke pasar AS. Langkah ini, menurut Trump, bertujuan untuk memaksa perusahaan farmasi global memindahkan basis produksi mereka kembali ke Amerika Serikat.
Pernyataan tegas Trump tersebut bukan sekadar retorika politik. Ia secara eksplisit mengancam akan memberlakukan tarif yang begitu tinggi sehingga akan membuat produk farmasi impor menjadi tidak kompetitif di pasar AS. "Saya akan mengenakan tarif 200% kepada Anda sehingga Anda tidak akan pernah bisa menjual apa pun ke Amerika Serikat," tegasnya. Ancaman ini langsung menyasar perusahaan-perusahaan farmasi yang telah mendirikan pabrik di luar negeri, terutama di negara-negara seperti China, yang selama ini menjadi pusat produksi obat-obatan bagi pasar global.
Strategi proteksionis Trump ini didasarkan pada premis sederhana: AS memiliki pasar domestik yang sangat besar dan menguntungkan. Dengan mengendalikan akses ke pasar ini melalui tarif impor yang ekstrem, Trump berharap dapat menarik investasi asing dan menciptakan lapangan kerja di sektor farmasi dalam negeri. "Keuntungan yang kami miliki atas semua orang adalah bahwa kami merupakan pasar yang besar," ujarnya, menekankan daya tarik pasar AS sebagai insentif bagi perusahaan farmasi untuk kembali berinvestasi di dalam negeri.
Namun, rencana Trump ini menuai potensi konsekuensi yang kompleks dan berdampak luas. Tarif impor 200% akan secara signifikan meningkatkan harga obat-obatan di AS. Jika perusahaan farmasi dipaksa menanggung biaya impor yang begitu tinggi, mereka tak akan memiliki pilihan lain selain menaikkan harga jual produk mereka di pasar AS. Kenaikan harga obat-obatan ini akan berdampak langsung pada konsumen Amerika, khususnya mereka yang bergantung pada obat-obatan resep untuk menjaga kesehatan. Hal ini berpotensi menimbulkan protes publik dan tekanan politik yang signifikan terhadap pemerintahan Trump.
Lebih lanjut, kebijakan ini berisiko memicu perang dagang yang lebih luas. Negara-negara lain yang menjadi produsen utama produk farmasi, seperti China dan India, kemungkinan besar akan merespon dengan kebijakan balasan, mengenakan tarif impor pada produk-produk AS lainnya. Hal ini akan mengganggu rantai pasokan global dan berpotensi menyebabkan kekurangan obat-obatan di berbagai negara, termasuk AS sendiri. Potensi disrupsi pada rantai pasokan global ini bisa berdampak negatif pada aksesibilitas dan keterjangkauan obat-obatan di seluruh dunia.
Para ahli ekonomi internasional memperingatkan bahwa kebijakan proteksionis seperti ini jarang menghasilkan hasil yang diinginkan. Alih-alih menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, kebijakan ini justru dapat menyebabkan penurunan investasi asing, inovasi yang terhambat, dan peningkatan harga barang dan jasa bagi konsumen. Penetapan tarif yang sangat tinggi juga dapat mendorong praktik penyelundupan dan perdagangan gelap obat-obatan, yang akan semakin memperumit masalah dan mengancam kesehatan publik.
Selain itu, rencana Trump ini juga mengabaikan kompleksitas industri farmasi global. Banyak perusahaan farmasi multinasional memiliki rantai pasokan yang rumit dan terintegrasi secara global. Memindahkan seluruh proses produksi kembali ke AS akan membutuhkan investasi modal yang sangat besar, waktu yang lama, dan perubahan struktural yang signifikan. Kemampuan AS untuk memenuhi kebutuhan domestiknya sendiri untuk produk farmasi juga patut dipertanyakan, mengingat kompleksitas dan spesifikasi produksi obat-obatan modern.
Meskipun Trump mengklaim bahwa pengenaan tarif ini akan mendorong perusahaan farmasi meninggalkan China dan negara-negara lain untuk kembali ke AS, realitanya mungkin jauh lebih rumit. Perusahaan farmasi akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk biaya produksi, akses ke tenaga kerja terampil, regulasi, dan infrastruktur, sebelum memutuskan untuk memindahkan operasi mereka. Tidak semua perusahaan akan terpengaruh secara signifikan oleh tarif impor, dan beberapa mungkin memilih untuk menyerap biaya tambahan tersebut daripada memindahkan seluruh operasinya.
Pernyataan Trump ini menimbulkan pertanyaan besar tentang konsistensi dan efektivitas kebijakan ekonomi pemerintahannya. Di satu sisi, ia menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, sementara di sisi lain, ia mengancam kebijakan yang berpotensi merusak perekonomian global dan meningkatkan biaya hidup bagi rakyat Amerika. Konsekuensi jangka panjang dari rencana ini masih belum jelas, tetapi potensi dampak negatifnya terhadap perekonomian global dan aksesibilitas obat-obatan sangat nyata dan patut mendapat perhatian serius.
Kesimpulannya, ancaman Trump untuk mengenakan tarif impor 200% pada produk farmasi merupakan langkah proteksionis yang berisiko tinggi dan berpotensi menimbulkan konsekuensi yang luas dan merugikan. Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada industri farmasi, tetapi juga pada ekonomi global, aksesibilitas obat-obatan, dan kesejahteraan konsumen di seluruh dunia. Perlu analisis yang lebih mendalam dan pertimbangan yang matang sebelum kebijakan semacam ini diterapkan, mengingat potensi dampak negatifnya yang signifikan.