Polemik seputar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 terus bergulir, menimbulkan gelombang protes dan kekhawatiran, terutama di Jawa Timur, jantung industri tembakau nasional. Aturan ini, yang dinilai mengancam jutaan mata pencaharian di sektor ini, telah memicu reaksi keras dari para petani tembakau yang merasa kebijakan tersebut tidak berpihak dan berpotensi menghancurkan mata pencaharian mereka.
Samukrah, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pamekasan, Madura, menjadi salah satu suara lantang yang menyuarakan keprihatinan tersebut. Ia menuding PP 28/2024, beserta wacana aturan turunannya seperti kemasan rokok polos tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), sebagai regulasi yang kontraproduktif dan tidak melibatkan para pemangku kepentingan di lapangan. Samukrah menekankan pentingnya partisipasi aktif para petani dalam proses pembuatan kebijakan, mengingatkan bahwa peraturan pemerintah bukanlah peraturan perusahaan yang dapat ditetapkan sepihak oleh direksi atau komisaris.
"Kebijakan pemerintah harus dibahas dan melibatkan banyak pihak," tegas Samukrah dalam keterangannya, Minggu (4/5/2025). Ia menunjuk pasal larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak sebagai contoh pasal yang dinilai kontraproduktif dan merugikan petani. Selain itu, kenaikan tarif cukai yang tinggi juga disebut sebagai pukulan telak bagi industri tembakau dan keberlangsungan hidup para petani.
Kekhawatiran Samukrah bukan tanpa dasar. Ia memprediksi kebijakan ini justru akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal yang lebih murah dan tidak terkontrol. "Asumsi di masyarakat adalah kebijakan ini akan memberikan ruang bagi rokok-rokok ilegal untuk berkembang pesat," ujarnya, mengungkapkan potensi ancaman yang lebih besar di balik regulasi yang bermaksud menekan konsumsi rokok.
Di sisi lain, Aftabuddin RZ, Kepala Biro Perekonomian Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, mengakui peran krusial industri tembakau bagi perekonomian daerah. Sektor ini, yang menjadi tulang punggung ekonomi Jawa Timur, menarik perhatian khusus pemerintah provinsi. Tinjauan internal pun tengah dilakukan untuk menganalisis dampak PP 28/2024 terhadap pengembangan industri tembakau.
Aftabuddin mengakui adanya beragam respons masyarakat terhadap PP 28/2024 di Jawa Timur. Koordinasi intensif dengan berbagai pihak, baik di tingkat industri maupun di lapangan, terus dilakukan untuk mencari solusi terbaik. Namun, ia juga mengakui adanya pasal-pasal spesifik dalam PP 28/2024 yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri dan pekerja.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur sangat khawatir dengan dampak potensial aturan tersebut terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur. "Jika kita bicara PDRB, kita akan kehilangan karena 75% penduduk Jawa Timur bergerak di bidang pengolahan, termasuk industri hasil tembakau yang kontribusinya terhadap PDRB Jawa Timur tidak sedikit. Kita ingin melihat bagaimana kontribusi tembakau dari Jawa Timur ke depan," ungkap Aftabuddin, menekankan betapa vitalnya sektor ini bagi perekonomian Jawa Timur.
Aftabuddin kemudian memaparkan data yang menunjukkan kontribusi besar Jawa Timur terhadap pendapatan negara dari cukai rokok. Dari total Rp216,9 triliun cukai yang diterima pemerintah Indonesia pada tahun 2024, lebih dari 50%, atau sekitar Rp133 triliun, berasal dari Jawa Timur. Angka ini menunjukkan betapa signifikannya peran Jawa Timur dalam industri tembakau nasional.
Lebih jauh, Aftabuddin menekankan posisi Indonesia sebagai salah satu produsen tembakau terbesar dunia, sejajar dengan negara-negara seperti China, India, Brazil, dan Amerika Serikat. Industri pertembakauan ini, menurutnya, juga mendukung konsep "dari kita, oleh kita, untuk kita".
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, menurut Aftabuddin, tetap terbuka terhadap masukan dan siap memfasilitasi diskusi untuk membahas implementasi PP 28/2024. Ia mengajak semua pihak untuk berdiskusi secara konstruktif, mencari solusi yang dapat melindungi industri pertembakauan di Jawa Timur tanpa mengabaikan aspek kesehatan masyarakat.
"Kami siap memfasilitasi diskusi untuk mencari solusi terbaik agar tidak ada dampak negatif terhadap industri dan pihak-pihak di dalamnya," imbuhnya, menunjukkan komitmen pemerintah untuk mencari jalan tengah yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terlibat.
Kesimpulannya, PP 28/2024 menimbulkan dilema yang kompleks. Di satu sisi, pemerintah berupaya meningkatkan kesehatan masyarakat dengan mengurangi konsumsi rokok. Di sisi lain, aturan ini mengancam mata pencaharian jutaan orang di Jawa Timur, khususnya para petani tembakau, yang telah lama bergantung pada industri ini. Perlu adanya dialog yang intensif dan komprehensif antara pemerintah, pelaku industri, dan petani tembakau untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan tujuan peningkatan kesehatan masyarakat dapat tercapai tanpa mengorbankan perekonomian daerah dan kesejahteraan para petani. Ke depannya, transparansi dan partisipasi aktif semua pemangku kepentingan dalam proses pembuatan kebijakan menjadi kunci untuk menghindari konflik dan memastikan keberlanjutan industri tembakau di Indonesia.