Rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menaikkan tarif impor mobil hingga 25% efektif 2 April 2025, memicu kekhawatiran akan dampak ekonomi yang jauh lebih luas daripada sekadar kenaikan harga jual kendaraan bagi konsumen atau penurunan profitabilitas produsen otomotif. Bayang-bayang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal bagi pekerja otomotif di AS kini kian nyata.
Keputusan kontroversial ini, seperti dikutip dari CNN pada 1 April 2025, diklaim Trump akan merevolusi industri otomotif AS, memindahkan produksi mobil dan komponennya kembali ke pabrik-pabrik domestik. Namun, klaim optimistis ini dibantah oleh para ahli ekonomi. Mereka memprediksi dampak sebaliknya: penurunan produksi dan lapangan kerja di sektor otomotif AS.
Kompleksitas rantai pasok global industri otomotif menjadi faktor kunci. Meskipun Trump berfokus pada penutupan pabrik di Meksiko dan Kanada akibat kehilangan akses pasar AS, dampaknya akan beresonansi secara global. Pemasok komponen AS yang memasok pabrik-pabrik di kedua negara tersebut akan merasakan pukulan telak. Sebaliknya, sejumlah mobil produksi AS juga ditujukan untuk pasar Kanada dan Meksiko. Skenario ini berpotensi memicu pengurangan produksi secara menyeluruh, yang secara langsung berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja di AS.
Patrick Anderson, Presiden Anderson Economic Group, memberikan peringatan keras: "Para produsen mobil berada dalam kesulitan yang serius." Ia memproyeksikan dampak PHK tidak hanya terbatas pada sektor manufaktur, tetapi juga akan meluas ke sektor-sektor terkait, seperti dealer mobil dan jasa transportasi. Dampak domino ini akan menciptakan gelombang pengangguran yang signifikan.
Pemerintahan Trump, sebaliknya, tetap teguh pada keyakinan akan dampak positif kebijakan ini terhadap lapangan kerja AS. Trump memprediksi pertumbuhan pesat industri otomotif domestik. Ia dan pendukungnya meyakini produsen mobil akan segera memindahkan produksi ke pabrik-pabrik AS yang dianggap lebih ekonomis.
Namun, realitas di lapangan jauh lebih rumit. Meskipun pemindahan produksi dari Meksiko dan Kanada ke pabrik-pabrik AS yang memproduksi model serupa mungkin terjadi relatif cepat, hal ini tidak berlaku untuk sebagian besar dari 3,6 juta kendaraan yang diekspor kedua negara tersebut ke AS. Banyak jalur perakitan di Kanada dan Meksiko memproduksi model yang tidak diproduksi di AS. Membangun atau merenovasi pabrik-pabrik baru di AS membutuhkan waktu bertahun-tahun, dan itu pun masih bergantung pada keputusan para produsen mobil.
Data dari S&P Global Mobility memperkuat argumen ini. Sekitar 61% dari 4 juta mobil yang diproduksi di Meksiko pada tahun lalu diekspor ke AS. Angka ini bahkan lebih tinggi untuk Kanada, mencapai 86% dari 1,3 juta mobil yang diproduksi. Ironisnya, sebagian besar kendaraan tersebut diproduksi dengan komponen-komponen dari AS. Data perdagangan federal mencatat ekspor komponen otomotif AS ke Meksiko dan Kanada masing-masing mencapai US$ 35,8 miliar dan US$ 28,4 miliar pada tahun lalu.
Industri komponen otomotif AS sendiri mempekerjakan sekitar 550.000 pekerja, hampir dua kali lipat jumlah pekerja di pabrik perakitan mobil. Penutupan pabrik di Kanada dan Meksiko, meskipun bersifat sementara, akan memaksa pemasok komponen AS untuk melakukan PHK, mengancam mata pencaharian ratusan ribu pekerja.
Lebih lanjut, potensi retaliasi dari Kanada dan Meksiko dalam bentuk tarif balasan akan memperburuk situasi. Kenaikan harga mobil di kedua negara tetangga AS tersebut akan berdampak negatif pada produksi dan lapangan kerja di AS sendiri. Lingkaran setan ini akan memperparah krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh kebijakan proteksionis Trump.
Kesimpulannya, rencana tarif impor mobil Trump, meskipun dibungkus dengan retorika nasionalisme ekonomi, menyimpan ancaman serius bagi perekonomian AS. Ancaman PHK massal di sektor otomotif dan sektor terkait bukanlah sekadar spekulasi, melainkan proyeksi yang didukung oleh data dan analisis ekonomi yang kredibel. Kegagalan untuk mempertimbangkan kompleksitas rantai pasok global dan potensi dampak negatif dari kebijakan proteksionis ini dapat berujung pada krisis ekonomi yang lebih besar dan kerugian jangka panjang bagi perekonomian AS. Kebijakan ini, alih-alih menciptakan lapangan kerja, justru berpotensi menghancurkan lapangan kerja yang sudah ada dan menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang meluas.