Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dengan tegas membantah sebutan "pinjol" (pinjaman online) yang selama ini melekat pada industri fintech peer-to-peer (P2P) lending yang mereka wakili. Dalam konferensi pers di Padalarang, Rabu (22/1/2025), Ketua Umum AFPI, Entjik S. Djafar, menyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah secara resmi mengganti istilah tersebut dengan "pindar" (pinjaman daring) sejak Desember 2024. Perubahan terminologi ini merupakan upaya untuk membedakan perusahaan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang legal dan terdaftar di OJK dengan praktik pinjol ilegal yang meresahkan masyarakat.
"Kami bukan pinjol. Kami adalah pindar yang berizin dan diawasi oleh OJK," tegas Entjik. Pernyataan ini disampaikan sebagai respon atas stigma negatif yang menempel kuat pada istilah "pinjol," yang kerap dikaitkan dengan praktik-praktik predatory lending, penagihan utang yang brutal, dan bunga yang mencekik. AFPI menyadari bahwa edukasi publik menjadi kunci untuk memisahkan entitas legal mereka dari praktik pinjol ilegal yang merajalela.
"Kami terus melakukan edukasi masif kepada masyarakat agar memahami perbedaan mendasar antara pindar dan pinjol ilegal," lanjut Entjik. Ia menekankan betapa pentingnya masyarakat memahami perbedaan ini, mengingat maraknya kasus-kasus pinjol ilegal yang menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi banyak orang. Kasus-kasus tersebut, yang seringkali melibatkan penagihan utang yang tidak manusiawi dan bunga yang membengkak secara eksponensial, telah menciptakan citra negatif yang sangat kuat terhadap seluruh industri fintech lending.
Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansyah, menambahkan bahwa upaya disasosiasi dari istilah "pinjol" merupakan langkah strategis untuk membersihkan nama baik industri fintech P2P lending yang legal. "Kami memiliki semangat untuk memisahkan diri dari pinjol ilegal. Pinjol ilegal dikenal dengan ketiadaan aturan, regulasi yang longgar, dan penagihan yang brutal," ujarnya dalam wawancara terpisah.
Kuseryansyah menjelaskan sejarah penggunaan istilah dalam industri ini. Awalnya, industri ini dikenal sebagai fintech P2P lending, atau secara resmi sebagai LPBBTI berdasarkan regulasi yang berlaku. Namun, di lapangan, masyarakat lebih familiar dengan istilah "pinjol." Kondisi ini diperparah oleh berbagai kasus negatif yang melibatkan pinjol ilegal, seperti kasus guru TK yang terpaksa menanggung utang membengkak dari Rp 3 juta menjadi Rp 70 juta dalam tiga bulan, atau kasus-kasus bunuh diri yang dikaitkan dengan stres akibat penagihan utang yang agresif.
Untuk mengatasi permasalahan ini, AFPI melalui Fintech Data Center miliknya telah melakukan penelusuran terhadap berbagai kasus yang beredar. Hasilnya, beberapa kasus yang dilaporkan ternyata melibatkan debitur yang telah melunasi pinjamannya atau memiliki catatan pembayaran yang baik. Namun, investigasi lebih lanjut juga mengungkap keterkaitan beberapa kasus dengan pinjol ilegal yang beroperasi di bawah berbagai nama, seperti "Duit Cepat" dan "Duit Ekstrim."
"Beberapa kasus yang awalnya dikaitkan dengan pindar legal, setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata melibatkan pinjol ilegal," jelas Kuseryansyah. Inilah yang mendorong AFPI untuk mengganti istilah "pinjol" dengan "pindar." Upaya sebelumnya untuk menggunakan istilah "pinjol baik" terbukti tidak efektif dalam mengubah persepsi negatif masyarakat.
Kuseryansyah menegaskan bahwa pindar, sebagai pengganti istilah pinjol, beroperasi di bawah kerangka regulasi yang ketat dan transparan. OJK telah menetapkan aturan yang melindungi konsumen, termasuk batasan bunga maksimal. Untuk pinjaman konsumtif dengan tenor kurang dari satu tahun, bunga maksimal yang diizinkan adalah 0,2% per hari. Selain itu, perusahaan pindar juga diwajibkan untuk mendapatkan sertifikasi ISO 27001 untuk menjamin keamanan data dan informasi. Seluruh karyawan, mulai dari office boy hingga CEO, wajib mengikuti pelatihan terkait keamanan data dan perlindungan konsumen.
Sebaliknya, pinjol ilegal beroperasi di luar hukum dan tanpa pengawasan, sehingga cenderung melakukan praktik-praktik yang merugikan dan berbahaya bagi konsumen. Ketiadaan regulasi dan pengawasan yang ketat memungkinkan mereka untuk menerapkan bunga yang sangat tinggi, melakukan penagihan yang agresif dan bahkan mengancam, serta mengabaikan perlindungan data pribadi konsumen.
Perubahan istilah dari "pinjol" menjadi "pindar" diharapkan dapat membantu masyarakat membedakan antara layanan keuangan digital yang legal dan terawasi dengan praktik pinjol ilegal yang meresahkan. AFPI berkomitmen untuk terus melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat agar memahami perbedaan ini dan terhindar dari jerat pinjol ilegal. Upaya ini merupakan langkah penting dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap industri fintech P2P lending yang legal dan berkontribusi positif bagi perekonomian Indonesia.