Pilihan Hidup Tanpa Anak Semakin Populer, Apa yang Melatarbelakanginya?
Jakarta, 2025 — Di tengah arus perubahan sosial dan tekanan ekonomi yang semakin kompleks, pilihan untuk tidak memiliki anak alias childfree semakin banyak diambil oleh pasangan muda, baik di perkotaan maupun wilayah semi-urban. Bukan sekadar tren global yang diikuti mentah-mentah, childfree kini menjadi bagian dari narasi baru soal kesadaran, kebebasan, dan kendali atas kehidupan pribadi.
Di Indonesia, pembahasan mengenai gaya hidup childfree mulai ramai sejak beberapa tahun terakhir, apalagi setelah beberapa figur publik secara terbuka menyatakan pilihan mereka. Namun, benarkah childfree hanya sekadar ikut-ikutan atau memang ada pertimbangan logis dan emosional di baliknya?
Apa Itu Gaya Hidup Childfree?
Definisi dan Perbedaan dengan Childless
Istilah childfree merujuk pada keputusan sadar dan sukarela seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki anak sepanjang hidupnya. Ini berbeda dengan childless, yang berarti tidak memiliki anak karena alasan di luar kendali, seperti masalah kesuburan atau kondisi medis.
Fenomena ini telah tumbuh di banyak negara maju, terutama di kalangan milenial dan generasi Z. Kini, di Indonesia pun jumlah pasangan yang mempertimbangkan gaya hidup ini terus meningkat, meski masih mendapat stigma sosial.
“Kami tidak membenci anak-anak. Kami hanya ingin hidup lebih bebas dan fokus pada hal-hal yang kami anggap bermakna,” ujar Devi, 31 tahun, seorang desainer grafis yang memutuskan childfree bersama pasangannya.
Mengapa Semakin Banyak yang Memilih Childfree?
Tekanan Ekonomi Jadi Faktor Dominan
Biaya hidup yang meningkat pesat, harga rumah yang tak terjangkau, serta tekanan karier yang tinggi menjadi faktor utama yang membuat banyak pasangan berpikir ulang untuk memiliki anak.
Menurut data BPS, rata-rata biaya membesarkan anak di kota besar hingga usia 18 tahun bisa mencapai lebih dari Rp 2 miliar, termasuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar. Jumlah ini tentu menjadi pertimbangan berat, terutama bagi pasangan muda yang belum mapan secara finansial.
Prioritas Hidup yang Berubah
Generasi saat ini cenderung lebih fokus pada pencapaian personal, kesehatan mental, perjalanan hidup yang bermakna, dan keberlanjutan lingkungan. Anak bukan lagi pusat dari pernikahan seperti generasi sebelumnya.
“Kami ingin bisa traveling, mengejar karier, dan punya waktu untuk diri sendiri. Punya anak akan mengubah semuanya,” kata Angga dan Nita, pasangan muda di Bandung.
Perspektif Sosial dan Budaya: Antara Dukungan dan Penolakan
Masih Kuatnya Norma Tradisional
Di banyak budaya Asia, termasuk Indonesia, memiliki anak masih dianggap sebagai bentuk “kesuksesan pernikahan” dan kewajiban sosial. Tak jarang pasangan yang childfree mendapat tekanan dari keluarga besar dan masyarakat.
Bahkan dalam diskursus publik, childfree sering dikaitkan dengan sikap egois, tidak patuh pada nilai keluarga, hingga dianggap “melawan kodrat”.
Generasi Baru yang Lebih Terbuka
Meski demikian, survei dari Katadata Insight Center (2024) menunjukkan 22% responden milenial menyatakan terbuka terhadap gaya hidup childfree, dengan 12% di antaranya menyatakan sudah mantap dengan keputusan itu.
Angka ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma: dari tuntutan eksternal menjadi pilihan personal yang rasional dan terencana.
Childfree dan Dampaknya pada Demografi Nasional
Ancaman Krisis Populasi?
Jika tren ini terus meningkat, beberapa ahli demografi mengkhawatirkan penurunan angka kelahiran di masa depan yang bisa memicu krisis populasi dan ketidakseimbangan struktur usia penduduk.
Namun, sebagian ahli lainnya justru melihatnya sebagai peluang untuk mengendalikan ledakan populasi dan mengarahkan pada pembangunan berkelanjutan.
Di negara seperti Jepang dan Korea Selatan, angka kelahiran yang rendah telah berdampak pada stagnasi ekonomi. Indonesia masih memiliki waktu untuk mengelola isu ini sebelum menjadi masalah besar.
Perspektif Psikologis: Antara Pilihan dan Risiko Emosional
Keputusan yang Perlu Kesiapan Mental
Psikolog keluarga menyebutkan bahwa keputusan childfree bukan hanya soal materi, tapi juga kesiapan mental untuk hidup di luar norma umum. Tekanan sosial, perasaan kesepian di masa tua, dan perubahan dinamika pasangan harus dipertimbangkan matang.
Namun bagi yang siap, gaya hidup ini bisa menjadi cara hidup yang sehat, tenang, dan bermakna—tanpa harus memenuhi ekspektasi luar.
“Yang penting bukan anak atau tidak, tapi apakah seseorang menjalani hidup sesuai nilai dan kesadarannya,” ujar Rika Maulida, Psikolog Klinis dari UGM.
Apakah Childfree Akan Menjadi Arus Utama?
Gaya Hidup yang Tak Bisa Digeneralisasi
Childfree bukan solusi bagi semua orang, tetapi juga bukan masalah selama keputusan itu didasarkan pada kesadaran, komunikasi pasangan yang terbuka, dan kesiapan jangka panjang.
Pemerintah sendiri belum mengatur secara langsung soal childfree, namun penting bagi kebijakan publik untuk mulai mempertimbangkan variasi gaya hidup warga negara tanpa diskriminasi.
Penutup: Menghargai Pilihan, Membangun Dialog
Fenomena childfree menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin kompleks dan beragam. Daripada saling menghakimi, saatnya membuka ruang dialog yang sehat dan menghargai setiap pilihan hidup.
Anak adalah anugerah, tapi tidak semua orang harus memilikinya. Dan itu tidak membuat seseorang lebih baik atau buruk. Yang terpenting adalah hidup dengan kesadaran dan tanggung jawab.
Referensi Terkait:
Katadata Insight Center – Studi Tren Gaya Hidup Anak Muda Indonesia 2024
Kompas.com – Diskusi Childfree dan Perspektif Sosial Budaya
#Childfree #GayaHidupModern #KeputusanTanpaAnak #GenerasiMilenial #PsikologiPasangan #TrenSosial2025