Washington D.C./Jakarta – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengungkapkan kesulitannya dalam bernegosiasi dengan Presiden China Xi Jinping terkait kebijakan tarif impor yang menjadi pemicu utama perang dagang antara kedua negara adikuasa tersebut. Pernyataan ini disampaikan Trump melalui media sosialnya, dikutip dari Reuters pada Kamis, 5 Juni 2025, mengungkapkan dinamika rumit hubungan bilateral yang masih diwarnai ketegangan meskipun upaya negosiasi telah dilakukan.
"Saya menyukai Presiden Xi dari China, selalu begitu, dan akan selalu begitu, tetapi dia sangat tangguh, dan sangat sulit untuk berunding," tulis Trump dalam unggahannya, menunjukkan adanya perbedaan pendekatan dan strategi negosiasi antara kedua pemimpin tersebut. Pernyataan ini memberikan gambaran tentang kompleksitas perundingan perdagangan AS-China yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, dan mengindikasikan bahwa jalan menuju resolusi masih panjang dan berliku.
Perang dagang AS-China yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir telah menimbulkan dampak signifikan terhadap perekonomian global. Meskipun sempat ada periode mereda akibat negosiasi, tensi kembali meningkat, menunjukkan betapa rumitnya menyelesaikan perbedaan kepentingan ekonomi dan politik antara kedua negara. Pernyataan Trump ini menjadi indikasi kuat bahwa perbedaan mendasar dalam strategi dan pendekatan negosiasi masih menjadi penghalang utama dalam mencapai kesepakatan yang komprehensif dan berkelanjutan.
Pernyataan Trump muncul di tengah serangkaian putusan pengadilan di AS yang mempertanyakan legalitas kebijakan tarif impornya. Pengadilan Perdagangan Internasional AS di Manhattan pada 28 Mei 2025 telah memutuskan bahwa Trump telah melampaui kewenangannya sebagai kepala negara dalam menerapkan tarif impor yang besar, bukan hanya kepada China, tetapi juga kepada ratusan mitra dagang AS lainnya. Putusan ini kemudian diperkuat oleh pengadilan federal di Washington, D.C. pada hari berikutnya, yang juga menyatakan bahwa tarif tersebut melanggar Undang-Undang (UU) Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional.
UU Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional dirancang untuk mengatasi ancaman yang tidak biasa dan luar biasa selama keadaan darurat nasional. Namun, pengadilan menilai bahwa penerapan tarif impor oleh Trump tidak memenuhi kriteria tersebut, menunjukkan adanya celah hukum dalam argumen administrasi Trump terkait pembenaran kebijakan proteksionisnya. Putusan ini merupakan pukulan telak bagi Trump, yang sebelumnya telah berupaya membela kebijakannya dengan alasan keamanan nasional dan melindungi industri dalam negeri AS dari praktik perdagangan yang dianggap tidak adil dari China.
Menanggapi putusan pengadilan tersebut, Trump telah mengajukan banding, menyatakan bahwa putusan pengadilan tersebut membahayakan negosiasi perdagangan dengan negara lain. Langkah ini menunjukkan upaya Trump untuk mempertahankan kebijakan tarif impornya, meskipun telah menghadapi tantangan hukum yang signifikan. Namun, banding ini juga menunjukkan keraguan atas efektivitas strategi negosiasi Trump, yang tampaknya lebih mengandalkan tekanan dan ancaman daripada pendekatan diplomasi yang lebih lunak dan kompromi.
Putusan pengadilan ini memiliki implikasi yang luas, tidak hanya bagi hubungan perdagangan AS-China, tetapi juga bagi sistem perdagangan internasional secara keseluruhan. Putusan ini mempertanyakan kewenangan presiden AS dalam menerapkan kebijakan proteksionis yang dapat berdampak signifikan terhadap negara lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara kewenangan eksekutif dan perlindungan hukum dalam konteks kebijakan perdagangan internasional.
Ketegangan antara AS dan China tidak hanya terbatas pada isu tarif impor. Kedua negara juga terlibat dalam persaingan geopolitik yang semakin intensif, meliputi teknologi, militer, dan pengaruh global. Perang dagang hanya merupakan salah satu manifestasi dari persaingan yang lebih luas ini. Pernyataan Trump tentang kesulitan bernegosiasi dengan Xi Jinping mencerminkan kompleksitas hubungan bilateral yang jauh melampaui isu ekonomi semata.
Pernyataan Trump juga menimbulkan pertanyaan tentang strategi AS dalam menghadapi China. Apakah pendekatan konfrontatif yang diadopsi oleh Trump efektif dalam mencapai tujuan AS? Atau apakah diperlukan pendekatan yang lebih diplomatis dan kolaboratif untuk menyelesaikan perbedaan dan membangun hubungan yang lebih konstruktif? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi perdebatan penting dalam konteks kebijakan luar negeri AS, terutama dalam menghadapi kekuatan ekonomi dan politik yang sedang bangkit seperti China.
Ke depan, hubungan AS-China akan terus menjadi salah satu faktor penentu stabilitas ekonomi dan politik global. Pernyataan Trump dan putusan pengadilan ini menunjukkan bahwa jalan menuju resolusi masih panjang dan penuh tantangan. Baik AS maupun China perlu mempertimbangkan kembali strategi mereka dan mencari pendekatan yang lebih konstruktif untuk menyelesaikan perbedaan dan membangun hubungan yang lebih stabil dan saling menguntungkan. Kegagalan untuk melakukannya dapat berdampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian global dan stabilitas geopolitik dunia. Perlu adanya upaya diplomasi yang lebih intensif dan komprehensif untuk mengatasi akar permasalahan dan membangun kepercayaan di antara kedua negara. Hanya dengan demikian, perang dagang dan ketegangan geopolitik dapat diredakan dan digantikan oleh kerjasama yang saling menguntungkan.