Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Gelaran job fair di GOR Tanjung Duren, Jakarta Barat, pekan lalu, tak hanya menyuguhkan optimisme bagi pencari kerja. Di balik antusiasme mencari peluang emas, tersirat pula keprihatinan mendalam dari mereka yang sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, berjuang melawan pengangguran. Ketiadaan pekerjaan tak hanya mengancam masa depan, tetapi juga menggerus tabungan yang menjadi sandaran hidup sehari-hari.
Laporan langsung dari lokasi job fair mengungkap potret getir para pencari kerja. Mereka bukan sekadar angka statistik pengangguran, melainkan individu dengan cerita dan perjuangan masing-masing yang terhimpit kesulitan ekonomi. Kehadiran mereka di job fair adalah pertaruhan terakhir, sebuah harapan tipis untuk lepas dari jerat pengangguran dan kembali memiliki penghasilan tetap.
Salah satu pencari kerja yang ditemui, Dena (26) asal Gambir, menggambarkan realita pahit tersebut. Sejak mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai office boy pada 25 April, ia telah berjuang mencari nafkah. "Lagi kosong, nganggur. Sudah sebulan lebih," ujarnya dengan nada lesu. Tabungan hasil kerja kerasnya sebelumnya kini menjadi sumber kehidupan satu-satunya. Ia berharap bisa segera mendapatkan pekerjaan agar tak terus mengandalkan tabungan yang kian menipis. "Ya untuk sehari-hari masih ada lah tabungan kemarin. Inginnya sih bulan ini atau sampai bulan depan sudah dapat pekerjaan, biar nggak ngambil dari tabungan lagi," tuturnya.
Di job fair tersebut, Dena gencar melamar ke beberapa perusahaan, terutama posisi cleaning service. Ia juga mendaftar pelatihan di bidang perhotelan untuk meningkatkan peluangnya. Sebagai tambahan penghasilan, ia masih menerima pekerjaan serabutan sebagai office boy harian. Namun, pekerjaan ini tak menentu dan tak bisa diandalkan. "Itu kan ada teman dari penyalur kerja, dia ada backup-backup OB kantor gitu. Jadi ya gitu, kadang ada kadang nggak. Saya bingung, daripada kadang ada kadang nggak, ya saya datang ke job fair biar ada kontrak lah," jelasnya.
Kisah serupa dialami M. Nur (49). Sejak November 2024, ia menganggur akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di perusahaannya karena efisiensi. Ia datang ke job fair bersama anaknya yang juga sedang mencari pekerjaan. Sejak di-PHK, Nur telah mengirimkan ratusan lamaran pekerjaan melalui berbagai situs pencari kerja, namun belum ada satupun yang membuahkan hasil. Untuk bertahan hidup, ia terpaksa mengandalkan dana pensiun dan uang pesangon. "Waktu itu kan dapat pesangon dari perusahaan, sama dapat JHT dari Jamsostek, nah itu dananya coba kita pepetin supaya kita bisa makan sampai setahun lah ya," ungkapnya dengan nada pasrah. Ia berharap bisa mendapatkan pekerjaan sebelum November 2025.
Situasi semakin kompleks bagi Daniel (23), mantan honorer di salah satu instansi pemerintah di Maluku Utara. Kegagalannya dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) memaksanya mencari pekerjaan di sektor swasta. Pemerintah telah menghapus status kepegawaian honorer, dan ia menolak tawaran PPPK paruh waktu. "Ikut (seleksi PPPK) tapi belum beruntung saja sih. Kalau ini kan jadinya (PPPK) Paruh Waktu. Cuma ya gitu lah, saya memutuskan berhenti, cari yang pengalaman di perusahaan dulu kan," jelas Daniel.
Demi pengalaman kerja yang lebih luas, Daniel merantau ke Jakarta dan tinggal bersama saudara di Cengkareng. Selama sebulan, ia telah melamar ke ratusan perusahaan secara online, namun hingga kini belum mendapatkan pekerjaan. "Ingin saja sih coba dunia yang lebih luas saja kan. Karena di Kabupaten apalagi di Maluku Utara kan pedalaman sekali gitu, jauh. Terus kita juga Kabupatennya jauh dari pusat Provinsi, beda pulau. Makanya setelah dua tahun, sudah merasa cukup kan pengalamannya, ya sudah ke Jakarta saja," tuturnya.
Kisah Dena, Nur, dan Daniel hanyalah sebagian kecil dari ribuan pencari kerja yang menghadapi realita getir di tengah persaingan kerja yang ketat. Mereka mewakili wajah-wajah pilu di balik angka statistik pengangguran. Ketiadaan pekerjaan bukan hanya masalah ekonomi semata, tetapi juga berdampak pada psikologis dan sosial mereka. Job fair menjadi simbol harapan, namun juga pengingat akan betapa beratnya perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan layak di tengah kondisi ekonomi yang menantang. Pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu lebih memperhatikan dan mencari solusi untuk mengatasi masalah pengangguran yang semakin mengkhawatirkan ini. Perlu adanya program-program pelatihan dan penciptaan lapangan kerja yang lebih terarah dan efektif untuk membantu para pencari kerja mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Harapannya, wajah-wajah pilu ini dapat segera tergantikan dengan senyum optimisme dan masa depan yang lebih cerah.