Jakarta, 3 Juni 2025 – Paket stimulus ekonomi pemerintah senilai Rp 24,44 triliun yang digelontorkan pada periode Juni-Juli 2025 menuai kritik tajam dari kalangan ekonom. Para ahli menilai stimulus tersebut bersifat temporer, berorientasi konsumsi semata, dan gagal menyentuh aspek fundamental perekonomian yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Mayoritas anggaran, yakni Rp 23,59 triliun bersumber dari APBN, sementara sisanya Rp 85 miliar berasal dari sumber non-APBN.
Pengamat ekonomi, Yanuar Rizki, menyoroti kurangnya fokus pada insentif pajak yang dapat menekan pengeluaran masyarakat. Ia berpendapat bahwa upaya mendongkrak konsumsi rumah tangga harus diiringi dengan pengendalian harga barang. "Artinya, jika kita ingin meningkatkan daya beli, kita harus mengidentifikasi transaksi yang terjadi di kelas menengah ke bawah dan memberikan insentif pajak pada barang-barang konsumsi yang relevan," tegas Yanuar dalam wawancara dengan detikcom. Menurutnya, pemberian insentif tersebut akan secara efektif meningkatkan daya beli masyarakat.
Lebih lanjut, Yanuar mendesak pemerintah untuk memperluas cakupan Bantuan Subsidi Upah (BSU). Meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), khususnya di kalangan kelas menengah, menuntut intervensi yang lebih komprehensif. Ia mengusulkan penerapan universal transfer, yaitu memberikan BSU kepada seluruh kelas menengah yang terdampak PHK. Selain itu, ia juga menyoroti pergeseran lapangan kerja dari sektor formal ke informal yang ditandai dengan penurunan angka pengangguran di tengah tingginya PHK. "BSU perlu menjangkau pekerja informal," tandasnya. Menurutnya, subsidi konsumsi yang efektif diarahkan kepada harga barang konsumsi atau langsung kepada pekerja informal.
Senada dengan Yanuar, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai stimulus yang berfokus pada konsumsi merupakan pemborosan APBN dan tidak berkelanjutan. Ia menekankan perlunya stimulus yang mendorong efisiensi dan produktivitas ekonomi. "Stimulus konsumtif ini boros dan tidak berkelanjutan. Setelah insentif berakhir, pertumbuhan ekonomi akan melambat," ujarnya. Ia menyarankan pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang berkelanjutan, efisien, dan mampu meningkatkan daya saing industri. Sebagai contoh, ia mencontohkan proyek padat karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), peningkatan subsidi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk rumah sederhana, relaksasi efisiensi perjalanan dinas dan rapat, serta insentif bagi nelayan dan petani. "Kebijakan-kebijakan ini berkelanjutan dan tetap berjalan meskipun insentifnya sudah berakhir," jelasnya.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), turut memberikan kritik serupa. Ia menilai paket stimulus tersebut hanya bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah fundamental perekonomian. "Dampaknya dikhawatirkan akan kembali turun setelah paket stimulus berakhir, kembali ke posisi sebelum stimulus diberikan. Ini bersifat temporer, bukan solusi mendasar untuk meningkatkan daya beli secara permanen," papar Faisal. Ia meragukan kemampuan stimulus ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai target 5%. "Berdasarkan proyeksi CORE, pertumbuhan ekonomi tahun ini maksimal hanya 4,8%," imbuhnya.
Kesimpulannya, para ekonom sepakat bahwa paket stimulus ekonomi pemerintah saat ini jauh dari ideal. Fokusnya yang terpaku pada konsumsi dan sifatnya yang temporer dinilai tidak mampu mengatasi permasalahan struktural perekonomian. Ketiadaan insentif pajak yang efektif untuk menekan pengeluaran masyarakat, serta cakupan BSU yang belum memadai, semakin memperkuat argumen bahwa stimulus ini gagal mencapai tujuan utamanya, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Para ahli menekankan perlunya strategi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, yang fokus pada peningkatan efisiensi, produktivitas, dan daya saing industri, bukan hanya sekadar menggenjot konsumsi sementara. Pemerintah perlu mempertimbangkan masukan para ahli ini untuk merumuskan kebijakan ekonomi yang lebih efektif dan berdampak jangka panjang bagi kesejahteraan rakyat. Kegagalan dalam hal ini akan berakibat pada pemborosan APBN dan ketidakpastian ekonomi di masa mendatang.