Jakarta, 2 Juni 2025 – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, melontarkan pernyataan kontroversial terkait hambatan pertumbuhan ekonomi negara berkembang. Berdasarkan pengalamannya selama sepuluh tahun berkecimpung di pemerintahan, Luhut menilai banyak negara maju justru ingin mempertahankan negara-negara berkembang dalam posisi ketergantungan ekonomi. Pernyataan tersebut disampaikan Luhut usai pertemuan dengan UN Comtrade yang membahas potensi ekspor mineral kritis Indonesia, khususnya nikel.
Dalam sambutannya pada peluncuran program Sahabat AI di Ruang Teater Museum Nasional, Jakarta, Luhut menegaskan potensi ekspor nikel Indonesia yang diperkirakan mencapai US$ 1,3 miliar. Namun, di balik potensi ekonomi yang menjanjikan ini, Luhut mengungkapkan adanya resistensi dari negara-negara maju. "Tidak akan pernah negara maju itu ingin negara berkembang itu menjadi negara maju. Dia mau kita tetap menjadi budaknya," tegas Luhut, pernyataan yang langsung memicu perdebatan dan interpretasi beragam.
Luhut lebih lanjut menjelaskan bahwa protes dari negara-negara maju tersebut muncul seiring dengan upaya Indonesia untuk mengoptimalkan potensi sumber daya alamnya melalui pengembangan industri hilir (downstream). Indonesia, menurut Luhut, tengah membuka peluang ekspor yang lebih besar dari sektor hilir, sebuah strategi yang dinilai mengancam kepentingan ekonomi negara-negara maju yang selama ini mendominasi pasar produk olahan mineral.
"Pada tahun 2045, saya kira dengan downstream di bawa terus sampai di ujung hilirnya, kita bisa mungkin hampir US$ 50 miliar," ungkap Luhut, menggambarkan ambisi besar Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah ekspornya. Proyeksi tersebut, menurutnya, merupakan hasil terobosan yang signifikan dan menempatkan Indonesia dalam posisi yang lebih menguntungkan di kancah ekonomi global. Luhut menambahkan keyakinannya bahwa strategi ini akan menjadi pendorong utama pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8%.
Untuk mencapai target ambisius tersebut, pemerintah telah meluncurkan sejumlah program prioritas, salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG). Luhut menekankan peran MBG dalam pemerataan pembangunan ekonomi di daerah. Namun, ia juga mengakui adanya tantangan dalam implementasi program tersebut.
"Saya bisa melihat dengan jernih apa-apa kekurangan kita, apa-apa kelebihan yang bisa kita monotise untuk bisa tadi mencapai 8%," jelasnya. Luhut menekankan pentingnya kekompakan dan sinergi antar lembaga pemerintahan untuk mengatasi hambatan dan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan. Ia memperingatkan agar tidak terjebak dalam perdebatan internal yang kontraproduktif. "Dan menurut saya, bukan angka yang terlalu sulit kalau kita kompak. Kuncinya kota kompak, jangan buru-buru mencerca kiri kanan," pungkasnya.
Pernyataan Luhut ini menimbulkan beberapa pertanyaan krusial. Pertama, siapa saja negara maju yang dimaksud dan apa bentuk "perbudakan" ekonomi yang ia maksud? Apakah pernyataan ini merupakan generalisasi yang terlalu luas, atau ada bukti konkret yang mendukung klaim tersebut? Detail lebih lanjut mengenai bentuk protes dan tekanan dari negara-negara maju terhadap kebijakan hilirisasi Indonesia perlu diungkap untuk memberikan konteks yang lebih jelas.
Kedua, bagaimana strategi Indonesia dalam menghadapi potensi tekanan dari negara-negara maju? Apakah pemerintah telah mempersiapkan langkah-langkah antisipatif untuk mengatasi potensi hambatan perdagangan atau sanksi ekonomi? Transparansi dan detail strategi pemerintah dalam menghadapi tantangan ini sangat penting untuk membangun kepercayaan publik.
Ketiga, seberapa realistis target pertumbuhan ekonomi 8% yang diproyeksikan? Apakah program-program prioritas seperti MBG memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan? Analisis ekonomi yang komprehensif dan data empiris diperlukan untuk menilai kelayakan dan dampak dari target tersebut.
Pernyataan Luhut, meskipun kontroversial, membuka diskusi penting tentang dinamika ekonomi global dan posisi negara berkembang di dalamnya. Pernyataan ini juga menyoroti pentingnya strategi pembangunan ekonomi yang berdaulat dan berkelanjutan, yang mampu melindungi kepentingan nasional di tengah persaingan ekonomi global yang semakin ketat. Namun, penting untuk menekankan perlunya data dan bukti yang lebih konkrit untuk mendukung klaim yang disampaikan, agar perdebatan yang muncul lebih substansial dan berlandaskan fakta. Lebih lanjut, diperlukan transparansi dan keterbukaan dari pemerintah dalam menjelaskan strategi dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius tersebut. Pernyataan Luhut ini menjadi momentum untuk mengkaji ulang strategi pembangunan ekonomi Indonesia dan memperkuat posisi tawar negara di kancah internasional.