Ketahanan pangan nasional bukan sekadar angka produksi, melainkan cerminan kesejahteraan petani yang menjadi tulang punggungnya. Kisah Ny. Niar (nama samaran), petani yang terjerat hutang akibat gagal panen dan siklus kemiskinan yang berulang, menggambarkan realita pahit yang masih menghantui banyak petani Indonesia. Kegagalan panen tak hanya berdampak pada ekonomi keluarga, namun juga mengancam keberlanjutan produksi pangan nasional. Untuk itu, penguatan kelembagaan petani dan peningkatan kesejahteraan mereka menjadi kunci utama dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Salah satu upaya strategis yang tengah digencarkan adalah pembentukan Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Dengan dukungan pemerintah, termasuk Bank Indonesia, BUMP diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil panen. Bantuan teknis dan infrastruktur pendukung produksi telah digelontorkan, menjanjikan peningkatan produksi yang signifikan. Laporan menunjukkan peningkatan produksi BUMP hingga hampir tiga kali lipat dalam setahun. Namun, jalan menuju keberhasilan BUMP ternyata tak semulus yang dibayangkan.
Peningkatan skala usaha tak hanya membutuhkan peningkatan input dan infrastruktur, namun juga lompatan signifikan dalam manajemen usaha. BUMP yang berkembang pesat menghadapi tantangan baru dalam pengelolaan keuangan, pemasaran, dan sumber daya manusia. Keterbatasan kapasitas manajemen keuangan, misalnya, mengakibatkan kesulitan dalam menarik investor atau mendapatkan pinjaman perbankan. Penyediaan "software" laporan keuangan saja terbukti tidak cukup. BUMP membutuhkan SDM yang terampil dalam menatausahakan keuangan, mengelola input produksi, dan menjalankan sistem pembayaran dan pengiriman yang terjadwal.
Permasalahan pemasaran juga menjadi kendala yang tak kalah krusial. BUMP yang memproduksi dalam jumlah besar membutuhkan jaminan pasar yang kuat. Keberadaan offtaker yang handal menjadi mutlak diperlukan untuk menyerap hasil produksi dan mengurangi risiko kegagalan pemasaran. Pemerintah Daerah (Pemda) melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) diharapkan dapat berperan sebagai offtaker baik dari sisi permodalan maupun pemasaran. Namun, kenyataannya banyak BUMD yang belum memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai, terutama dalam menangani komoditas pangan yang mudah rusak (perishable goods).
Oleh karena itu, diperlukan strategi pemasaran yang terintegrasi. Produk petani perlu dipasarkan dengan harga yang terjangkau bagi konsumen namun tetap menguntungkan petani. Pemanfaatan jaringan pasar lokal, termasuk melibatkan pegawai pemerintah dan swasta melalui koperasi, dapat menjadi solusi yang efektif. Strategi ini diharapkan mampu menyerap hasil produksi dengan baik, mempertahankan stabilitas harga, dan memastikan keuntungan bagi petani serta keterjangkauan harga bagi konsumen. Stabilitas harga juga dapat dicapai dengan mengurangi jumlah masyarakat yang berbelanja langsung ke pasar, sehingga fluktuasi permintaan dapat ditekan.
Proyeksi kebutuhan beras nasional tahun 2025 mencapai sekitar 31 juta ton, atau setara dengan Rp 418,5 triliun (dengan asumsi harga beras Rp 13.500 per kg). Dengan potensi produksi mencapai 32 juta ton, kebutuhan beras nasional secara kuantitatif dapat terpenuhi. Namun, tantangan sebenarnya terletak pada manajemen stok. Ketidakseimbangan antara surplus saat panen raya dan kekurangan stok di luar musim panen membutuhkan intervensi pemerintah. Peran Bulog dan BUMD menjadi krusial dalam meratakan stok, menyerap surplus produksi saat panen raya untuk mencegah penurunan harga, dan mendistribusikannya kembali saat terjadi kekurangan stok. Kemitraan yang kuat antara BUMP/Gapoktan dengan BUMD di bawah pengawasan Pemda menjadi kunci keberhasilan strategi ini.
Sistem pengumpulan bahan pangan pokok, yang di masa lalu mungkin dianalogikan sebagai pajak berupa natura di Mesir kuno, kini membutuhkan mekanisme yang lebih modern dan terintegrasi. Pembelian langsung hasil panen dari petani untuk mengisi lumbung pangan daerah menjadi langkah penting. Ketahanan pangan di negara manapun, termasuk Indonesia, tidak dapat sepenuhnya diandalkan pada mekanisme pasar yang bebas. Teori ekonomi menunjukkan bahwa mekanisme pasar cenderung tidak sempurna, terutama ketika terdapat kelompok ekonomi besar yang memprioritaskan profit semata dalam sektor pangan pokok.
Peran pemerintah sangat krusial dalam memastikan pengelolaan lahan pertanian yang efisien dan memberikan dukungan nyata bagi kesejahteraan petani. Hal ini akan menjamin produksi pangan yang berlimpah dan berkelanjutan. Pembentukan Koperasi Merah Putih diharapkan dapat menjadi pengampu petani baik dari sisi produksi maupun pemasaran. Namun, keberhasilannya membutuhkan koordinasi dan kerja sama yang solid antara kementerian terkait, Badan Pangan Nasional, Bank Indonesia, dan pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Kesimpulannya, ketahanan pangan Indonesia yang berkelanjutan hanya dapat terwujud melalui kesejahteraan petani. Kesejahteraan tersebut dicapai melalui stabilitas harga jual, manajemen produksi dan pemasaran yang efektif, serta dukungan kebijakan pemerintah yang terintegrasi. Dengan demikian, Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan yang sejati, menjamin kedaulatan pangan dan kesejahteraan rakyatnya.