Jakarta, 2 Juni 2025 – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Jawa Barat (Jabar) diproyeksikan akan menyerap anggaran fantastis mencapai Rp 50 triliun. Angka ini jauh melampaui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jabar yang berkisar Rp 31 triliun, sebuah fakta yang mengejutkan dan memicu perdebatan mengenai dampak ekonomi dan pengelolaan dana tersebut. Informasi ini disampaikan oleh Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, dalam BGN Talks Episode 1 yang disiarkan melalui kanal YouTube BGN pada Minggu (1/6/2025).
Dadan menjelaskan, besarnya anggaran tersebut sejalan dengan target ambisius BGN untuk membangun lebih dari 4.500 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Jabar. Provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia ini menjadi prioritas utama dalam program MBG nasional. "Jika program MBG berjalan 100%, dana yang dialokasikan BGN untuk Jabar akan mencapai sekitar Rp 50 triliun," tegas Dadan. Pernyataan ini secara otomatis menempatkan suntikan dana dari BGN jauh di atas APBD Jabar, menimbulkan pertanyaan mengenai potensi dampaknya terhadap perekonomian daerah dan tata kelola pemerintahan.
Besarnya anggaran tersebut, menurut Dadan, didasarkan pada perhitungan alokasi dana untuk setiap SPPG. Setiap unit SPPG akan menerima dana operasional antara Rp 8 miliar hingga Rp 10 miliar per tahun. Sebagian besar dana ini diprioritaskan untuk pengadaan bahan baku pangan dari produsen lokal. Strategi ini, menurut Dadan, dirancang untuk memicu pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah.
"Pembelian bahan baku dari produsen lokal akan menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong tumbuhnya wirausahawan," jelas Dadan. Ia memperkirakan setiap SPPG akan menyerap setidaknya 50 tenaga kerja dan membutuhkan minimal 15 pemasok lokal. Dengan tersebarnya 4.500 lebih SPPG di seluruh wilayah Jabar, dampak ekonomi yang dihasilkan diprediksi akan sangat signifikan dan masif.
Dadan juga mencontohkan program serupa di provinsi lain. Ia menyebutkan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki APBD hanya sekitar Rp 3 triliun, akan menerima dana MBG dari BGN sebesar Rp 8 triliun – lebih dari dua kali lipat APBD-nya. Begitu pula dengan Lampung, yang akan menerima sekitar Rp 10 triliun. Dalam hal ini, Dadan menekankan pentingnya pengawasan agar dana tersebut benar-benar digunakan untuk pengadaan bahan baku lokal. "Gubernur Lampung sudah mewanti-wanti agar dana tersebut tidak digunakan untuk membeli bahan baku dari luar Lampung," ujarnya.
Namun, pernyataan Dadan ini juga memunculkan beberapa pertanyaan krusial yang perlu dikaji lebih lanjut. Pertama, mengenai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana yang begitu besar. Mekanisme pengawasan dan pencegahan korupsi perlu dijelaskan secara rinci untuk memastikan dana tersebut digunakan secara efektif dan efisien sesuai peruntukannya. Sistem pelaporan yang transparan dan akses publik terhadap informasi terkait penggunaan dana menjadi sangat penting untuk mencegah potensi penyimpangan.
Kedua, terkait kapasitas penyerapan dan pengelolaan dana oleh pemerintah daerah. Apakah pemerintah daerah di Jabar, khususnya di tingkat kabupaten/kota, memiliki kapasitas dan infrastruktur yang memadai untuk mengelola dana sebesar itu? Perlu adanya evaluasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat daerah untuk memastikan dana tersebut dikelola dengan baik dan tepat sasaran.
Ketiga, terkait potensi dampak sosial dan ekonomi jangka panjang. Meskipun program ini bertujuan untuk meningkatkan gizi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi lokal, perlu kajian yang komprehensif untuk mengantisipasi potensi dampak negatif yang mungkin terjadi. Misalnya, potensi monopoli oleh beberapa pemasok lokal, ketidakmerataan distribusi manfaat, atau bahkan potensi inflasi akibat peningkatan permintaan bahan baku lokal.
Keempat, perlu dipertanyakan mengenai keberlanjutan program ini. Apakah program MBG ini akan berkelanjutan setelah dana dari BGN habis? Bagaimana pemerintah daerah akan memastikan keberlanjutan program ini setelah periode pendanaan dari BGN berakhir? Strategi pembiayaan jangka panjang perlu dirancang agar program ini tidak menjadi beban bagi APBD daerah di masa mendatang.
Kesimpulannya, alokasi dana MBG sebesar Rp 50 triliun di Jabar merupakan langkah yang berani dan berpotensi besar untuk meningkatkan gizi masyarakat dan menggerakkan ekonomi daerah. Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada transparansi, akuntabilitas, dan kapasitas pengelolaan dana oleh pemerintah daerah. Pentingnya pengawasan yang ketat dan kajian yang komprehensif terhadap potensi dampak positif dan negatif program ini menjadi kunci keberhasilannya dalam jangka panjang. Pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama secara efektif untuk memastikan bahwa dana yang besar ini benar-benar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat Jabar. Keberhasilan program ini tidak hanya diukur dari jumlah dana yang dialokasikan, tetapi juga dari dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya peningkatan gizi dan kesejahteraan masyarakat Jabar.