Jakarta – Pemerintah tengah gencar menggalakkan pembentukan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdeskel) Merah Putih, sebuah program ambisius yang diklaim mampu merevolusi perekonomian pedesaan dan memberantas praktik-praktik eksploitatif yang selama ini merugikan petani, nelayan, dan UMKM. Menteri Koperasi dan UKM, Budi Arie Setiadi, dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI pada Senin (26/5/2025), memaparkan program ini sebagai solusi multi-faceted untuk mengatasi berbagai permasalahan struktural yang menghambat pertumbuhan ekonomi desa. Saat ini, kontribusi ekonomi desa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional baru mencapai 14%, angka yang dinilai jauh di bawah potensi sebenarnya.
Budi Arie menekankan bahwa Kopdeskel Merah Putih dirancang sebagai pilar utama dalam membangun ekonomi desa yang berkelanjutan. Ia menggambarkan koperasi ini sebagai jantung sistem distribusi, menghubungkan produsen di desa – petani, nelayan, dan UMKM – langsung dengan pasar, sehingga memangkas rantai pasok yang panjang dan menghilangkan peran tengkulak yang selama ini mengeksploitasi mereka. Dengan demikian, program ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani dan nelayan secara signifikan.
Program ini menargetkan beberapa isu krusial di pedesaan. Pertama, masalah harga jual komoditas pertanian dan perikanan yang rendah akibat dominasi tengkulak dan panjangnya rantai distribusi. Kopdeskel Merah Putih diproyeksikan mampu memangkas biaya transaksi dan margin keuntungan tengkulak, sehingga memberikan harga yang lebih adil bagi produsen. Kedua, kekurangan lapangan kerja di desa yang memaksa banyak anak muda merantau ke kota besar bahkan menjadi pekerja migran. Pemerintah menargetkan program ini akan menciptakan sekitar 2 juta lapangan kerja baru di pedesaan.
Ketiga, instabilitas harga bahan pokok akibat ketergantungan pada pemasok luar desa. Kopdeskel Merah Putih diharapkan dapat memperkuat sistem distribusi lokal yang lebih efisien dan terintegrasi, menjamin ketersediaan bahan pokok dengan harga yang stabil. Keempat, akses kesehatan yang terbatas dan kurang terjangkau. Untuk mengatasi hal ini, setiap Kopdeskel Merah Putih diwajibkan memiliki apotek desa dan klinik desa, guna meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas. Terakhir, masalah akses permodalan yang kerap membuat masyarakat terjerat jerat rentenir dan pinjaman online (pinjol) ilegal. Kopdeskel Merah Putih akan menyediakan layanan simpan pinjam dengan bunga yang lebih terjangkau dan mekanisme yang lebih mudah diakses.
Potensi keuntungan Kopdeskel Merah Putih, yang diperkirakan mencapai Rp 1 miliar per koperasi, menjadi sorotan. Budi Arie menjelaskan hal ini didasarkan pada potensi penghematan yang signifikan dari pemangkasan peran perantara. Ia merujuk data Kementerian Pertanian yang menunjukkan nilai tambah yang hilang akibat praktik tengkulak dan rentenir mencapai Rp 300 triliun di tingkat desa. Dengan memangkas 30% dari nilai tersebut melalui efisiensi distribusi, potensi keuntungan yang dihasilkan sangat signifikan.
Selain itu, program ini juga berpotensi mengoptimalkan subsidi pupuk dan LPG 3 kg. Budi Arie mencontohkan selisih harga pupuk bersubsidi yang sangat besar antara harga pabrik (Rp 2.300/kg) dan harga pasar (Rp 4.800/kg), yang menunjukkan adanya potensi kerugian besar bagi petani. Begitu pula dengan subsidi LPG 3 kg yang nilainya mencapai hampir Rp 100 triliun, namun banyak masyarakat yang belum mendapatkan harga subsidi yang sebenarnya. Kopdeskel Merah Putih diharapkan dapat menjamin penyaluran subsidi tersebut secara efektif dan efisien hingga ke tangan masyarakat.
Terkait potensi monopoli yang mungkin timbul, Budi Arie menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 50, koperasi diizinkan untuk melakukan monopoli karena merupakan lembaga ekonomi yang sesuai dengan ideologi negara dan dimiliki oleh banyak orang, bukan hanya satu atau dua individu. Ia juga menambahkan bahwa dirinya telah berkoordinasi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memastikan program ini berjalan sesuai aturan dan tidak merugikan masyarakat.
Namun, program sebesar ini tentu tidak tanpa tantangan. Implementasi di lapangan memerlukan pengawasan yang ketat untuk mencegah potensi penyimpangan dan memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat desa. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan koperasi menjadi kunci keberhasilan program ini. Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat desa dalam pengelolaan Kopdeskel Merah Putih sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan keberdayaan ekonomi lokal. Keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga pada partisipasi aktif dan kesadaran masyarakat desa sendiri. Ke depan, evaluasi berkala dan mekanisme pengawasan yang efektif perlu diimplementasikan untuk memastikan program ini mencapai tujuannya dan tidak menjadi beban baru bagi masyarakat. Keberhasilan Kopdeskel Merah Putih akan menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan di pedesaan.