Polemik Pengangkatan Dirjen Pajak dan Bea Cukai: Prerogatif Presiden atau Pertanyaan Meritokrasi?

Pengangkatan Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak dan Djaka Budhi Utama sebagai Dirjen Bea dan Cukai telah memicu perdebatan publik. Sorotan tajam tertuju pada proses seleksi yang disebut-sebut dilakukan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, menimbulkan pertanyaan serius mengenai penerapan prinsip meritokrasi dalam penempatan pejabat tinggi di Kementerian Keuangan.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, menanggapi kontroversi ini dengan tegas. Dalam keterangan pers di Gedung Kwartir Nasional, Jakarta Pusat, Senin (26/5/2025), ia menyatakan bahwa penunjukan pejabat strategis merupakan hak prerogatif pemerintah. Menurutnya, calon pejabat dapat berasal dari berbagai latar belakang, asalkan dinilai mampu menjalankan arahan Presiden sebagai kepala negara.

"Ini bagian dari hak prerogatif pemerintah untuk menempatkan orang-orang yang dianggap mampu menjalankan arahan pimpinan tertinggi, Bapak Presiden," tegas Hasan. Ia membantah anggapan bahwa penunjukan ini menyimpang dari norma. Hasan mencontohkan kasus serupa di masa lalu, seperti penunjukan Hilmar Farid sebagai Dirjen Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang juga berasal dari luar kementerian.

Penjelasan Nasbi lebih lanjut menekankan bahwa posisi jabatan tinggi di kementerian tidak selalu harus dijabat oleh pegawai karier. Proses seleksi, menurutnya, dapat melalui lelang jabatan atau usulan langsung dari menteri terkait. Dalam kasus Bimo dan Djaka, keduanya diusulkan langsung oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

"Sekarang dimungkinkan individu di luar kementerian mengikuti proses bidding untuk menjadi pejabat, atau diusulkan menteri, kemudian diproses dan disetujui presiden," jelas Hasan. Ia menegaskan keterlibatan aktif Sri Mulyani dalam proses pengangkatan kedua Dirjen tersebut.

Polemik Pengangkatan Dirjen Pajak dan Bea Cukai: Prerogatif Presiden atau Pertanyaan Meritokrasi?

"Secara prosedur, Bimo dan Djaka diusulkan oleh Menteri Keuangan. Ada surat usulan dari Menkeu, saya lupa tanggal pastinya, sekitar 13 atau 14 Mei. Intinya, ada usulan tertulis dari Menteri Keuangan," papar Hasan. Ia menekankan bahwa seluruh prosedur pengangkatan telah dijalankan sesuai aturan yang berlaku.

"Secara prosedur, ini merupakan usulan Menkeu. Prosedur pemberhentian pejabat lama telah ditempuh, kemudian pengusulan oleh Menteri Keuangan juga telah dilakukan," lanjut Hasan. Setelah ditetapkan, Bimo dan Djaka menerima surat pengangkatan langsung dari Presiden, sesuai dengan prosedur pengangkatan pejabat eselon IA.

"Untuk eselon IA, keputusan pengangkatan langsung dari Presiden. Seperti deputi di kantor saya, surat keputusan presiden juga digunakan, begitu pula Dirjen-Dirjen, surat pengangkatannya dari Presiden," ungkap Hasan.

Terkait status Djaka Budhi Utama yang sebelumnya merupakan anggota TNI, Hasan menjelaskan bahwa surat pemberhentian sebagai prajurit telah diterbitkan pada 6 Mei 2025. Dengan demikian, Djaka saat ini berstatus sipil dan memenuhi syarat untuk menjabat sebagai pejabat tinggi di kementerian.

"Saat ini Letjen Djaka berstatus purnawirawan, sama-sama sipil, dan berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang menjabat sebagai Dirjen Bea Cukai," pungkas Hasan.

Namun, penjelasan dari PCO ini belum sepenuhnya meredakan kontroversi. Pertanyaan mengenai transparansi dan kriteria seleksi tetap menjadi sorotan. Meskipun ditegaskan bahwa proses pengangkatan telah sesuai prosedur, kekurangan transparansi dalam kriteria penilaian dan proses seleksi menimbulkan keraguan publik terhadap penerapan prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi landasan utama dalam penempatan pejabat publik.

Keberadaan surat usulan dari Menteri Keuangan, meskipun dikonfirmasi, tidak sepenuhnya menjawab kekhawatiran publik. Proses seleksi yang melibatkan langsung Presiden tanpa mekanisme seleksi terbuka dan kompetitif menimbulkan pertanyaan tentang potensi intervensi politik dan pengaruh di luar kompetensi dan kapabilitas profesional.

Perdebatan ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengangkatan pejabat tinggi. Kejelasan kriteria seleksi, mekanisme yang transparan, dan partisipasi publik yang lebih luas dapat membantu mencegah munculnya kontroversi serupa di masa mendatang. Ke depan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membuka proses seleksi pejabat tinggi agar lebih transparan dan akuntabel, sehingga dapat meminimalisir keraguan publik dan memperkuat kepercayaan terhadap prinsip meritokrasi dalam birokrasi pemerintahan. Penggunaan hak prerogatif presiden, meskipun sah secara konstitusional, harus diimbangi dengan komitmen terhadap prinsip-prinsip good governance dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *