Jakarta, 19 Mei 2025 – Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang melanda berbagai sektor perekonomian Indonesia menimbulkan kekhawatiran serius bagi stabilitas industri pembiayaan, khususnya perusahaan pembiayaan (multifinance) dan platform pinjaman daring (peer-to-peer lending/P2P lending). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun angkat bicara, mengingatkan kedua sektor tersebut untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi lonjakan gagal bayar yang mengancam keberlangsungan bisnis mereka.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, dalam keterangan tertulisnya hari ini, menekankan perlunya langkah antisipatif dan strategi mitigasi risiko yang lebih kuat. "Maraknya PHK yang terjadi saat ini berpotensi menimbulkan dampak signifikan terhadap industri multifinance dan P2P lending. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan di sektor ini didorong untuk senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian, memiliki manajemen risiko yang handal dan terukur, serta terus berinovasi untuk menekan potensi peningkatan gagal bayar," tegas Agusman. Pernyataan ini disampaikan di tengah dinamika perekonomian domestik dan global yang masih dibayangi ketidakpastian.
Agusman mengakui bahwa hingga Maret 2025, profil risiko industri multifinance dan P2P lending secara umum masih terjaga. Data menunjukkan rasio pembiayaan bermasalah atau Non Performing Financing (NPF) gross di sektor multifinance mengalami penurunan menjadi 2,71%. Sementara itu, tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) industri P2P lending tetap stabil di angka 2,77%. Namun, angka-angka ini tidak serta merta menjadi alasan untuk mengabaikan potensi ancaman yang mengintai.
"OJK akan terus melakukan pemantauan secara intensif terhadap tingkat risiko kredit bermasalah," lanjut Agusman, menekankan komitmen pengawas untuk memastikan stabilitas sistem keuangan nasional. Pemantauan ini tidak hanya mencakup data makro, tetapi juga analisis mikro yang mendalam terhadap kinerja masing-masing perusahaan di sektor pembiayaan. Hal ini penting untuk mengidentifikasi secara dini perusahaan-perusahaan yang berpotensi mengalami kesulitan likuiditas akibat dampak PHK.
Lebih lanjut, OJK juga tengah mencermati dampak perlambatan ekonomi nasional pada kuartal I 2025 terhadap sektor pembiayaan digital, khususnya industri P2P lending. Meskipun Agusman mengakui masih terdapat peluang pertumbuhan yang signifikan di sektor ini, didukung oleh kemampuan adaptasi dan penetrasi teknologi digital yang kuat, potensi risiko gagal bayar akibat PHK massal tetap menjadi perhatian utama.
"Dampak perlambatan ekonomi pada kuartal I 2025 terhadap industri P2P lending akan terus kami pantau secara ketat," ujar Agusman. "Namun, fleksibilitas operasional, tingkat digitalisasi yang tinggi, dan fokus pada segmen underserved (masyarakat yang kurang terlayani oleh lembaga keuangan konvensional), khususnya UMKM, membuat industri P2P lending masih berpotensi tumbuh positif pada kuartal-kuartal mendatang, terutama dalam pembiayaan jangka pendek. OJK akan memastikan pertumbuhan ini berlangsung secara sehat dan berkelanjutan, dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen," tambahnya.
Pernyataan Agusman ini menjadi sinyal penting bagi industri pembiayaan dan P2P lending untuk segera melakukan penyesuaian strategi bisnis. PHK massal berpotensi meningkatkan jumlah debitur yang mengalami kesulitan pembayaran, sehingga meningkatkan rasio NPF dan TWP90. Hal ini dapat berdampak negatif pada profitabilitas dan bahkan kelangsungan hidup perusahaan.
Langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan oleh perusahaan-perusahaan di sektor ini antara lain: peningkatan kualitas analisis kredit, penguatan sistem manajemen risiko, diversifikasi portofolio pembiayaan, pengembangan produk dan layanan yang lebih inovatif dan responsif terhadap kebutuhan debitur di tengah kondisi ekonomi yang menantang, serta peningkatan transparansi dan komunikasi dengan debitur untuk mencegah terjadinya tunggakan pembayaran.
Selain itu, kolaborasi antara perusahaan pembiayaan, fintech P2P lending, dan OJK sangat penting untuk membangun ekosistem yang lebih resilient dan mampu menghadapi berbagai tantangan ekonomi. Pertukaran informasi dan best practice di antara pelaku industri dapat membantu dalam mengidentifikasi dan mengatasi risiko secara lebih efektif.
Ke depan, peran OJK sebagai regulator dan pengawas akan semakin krusial dalam menjaga stabilitas dan kesehatan industri pembiayaan dan P2P lending. Pemantauan yang ketat, pengawasan yang efektif, serta penerapan regulasi yang tepat dan responsif terhadap perkembangan ekonomi menjadi kunci untuk mencegah terjadinya krisis sistemik di sektor ini. Peringatan OJK ini hendaknya menjadi momentum bagi seluruh pelaku industri untuk meningkatkan kewaspadaan dan proaktif dalam mengantisipasi potensi dampak negatif dari PHK massal. Keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini akan menentukan masa depan industri pembiayaan dan P2P lending di Indonesia.