Jakarta, 20 Mei 2025 – Kawasan Rebana, Jawa Barat, tengah menghadapi dilema pembangunan yang pelik. Meskipun mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di sejumlah daerahnya, angka kemiskinan justru tetap tinggi, bahkan menjadi yang tertinggi di Jawa Barat. Fenomena ini terungkap dalam paparan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pada acara detikcom Regional Summit, Senin (19/5/2025). Pernyataan Mendagri ini menggarisbawahi pentingnya strategi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan di wilayah yang diproyeksikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Barat tersebut.
Kawasan Rebana, meliputi tujuh daerah – Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Subang, Sumedang, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu – menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang bervariasi pada akhir tahun 2024. Majalengka memimpin dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 8,9%, disusul Kuningan (8,33%), Sumedang (7,24%), Kabupaten Cirebon (7,15%), dan Indramayu (5,81%). Subang mencatatkan pertumbuhan 5,43%, sementara Kota Cirebon berada di posisi terendah dengan 4,7%.
Namun, di balik angka pertumbuhan ekonomi yang mengesankan tersebut, tersimpan realita yang memprihatinkan. Indramayu, misalnya, menunjukkan angka kemiskinan tertinggi di kawasan Rebana, bahkan di seluruh Jawa Barat, mencapai 11,93%. Kuningan berada di posisi kedua dengan angka kemiskinan 11,88%, diikuti Kabupaten Cirebon (11%), Majalengka (10,82%), Subang (9,49%), dan Sumedang (9,1%). Hanya Kota Cirebon yang menunjukkan angka kemiskinan relatif lebih rendah dibandingkan daerah lain di Rebana. Kontras dengan angka kemiskinan di Kota Depok yang hanya 2,34%, angka kemiskinan di Rebana secara keseluruhan jauh lebih tinggi, mendominasi angka kemiskinan di Jawa Barat.
Mendagri Tito Karnavian menekankan ketidaksesuaian antara pertumbuhan ekonomi dan angka kemiskinan ini. Ia menunjuk pada angka gini rasio sebagai indikator ketimpangan pendapatan. Angka gini rasio berkisar antara 0 hingga 1, di mana angka 0 menunjukkan pemerataan pendapatan sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan yang ekstrem. Kota Cirebon, dengan angka gini rasio tertinggi sebesar 0,47, menjadi contoh nyata ketimpangan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan ekonomi yang tajam antara kelompok masyarakat kaya dan miskin, dengan potensi keberadaan kawasan kumuh atau slum area. Sumedang (0,37), Kabupaten Cirebon (0,36), Kuningan (0,35), Indramayu (0,34), dan Majalengka (0,34) juga menunjukkan angka gini rasio yang relatif tinggi, mengindikasikan adanya ketimpangan pendapatan yang perlu mendapat perhatian serius. Subang menunjukan angka gini rasio terendah diantara daerah-daerah Rebana yaitu 0,33.
Pertumbuhan ekonomi, menurut Mendagri, bukanlah satu-satunya faktor penentu pemerataan pembangunan. Indikator lain seperti akses terhadap pendidikan dan sumber daya juga perlu dipertimbangkan. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kota Cirebon, meskipun memiliki IPM tertinggi di kawasan Rebana (78), tetap menghadapi tantangan ketimpangan yang besar. Sumedang (74,57), Kabupaten Cirebon (72,3), Subang (72,05), Kuningan (71,58), Majalengka (71,37), dan Indramayu (70,72) menunjukkan IPM yang lebih rendah, menunjukkan adanya disparitas pembangunan manusia di kawasan tersebut.
Mendagri Tito Karnavian menyoroti perlunya strategi pembangunan yang lebih terarah dan inklusif. Pemerintah daerah, khususnya para kepala daerah di kawasan Rebana, diharapkan mampu memetakan wilayah dan kelompok masyarakat yang membutuhkan perhatian khusus. Program pemberdayaan masyarakat, peningkatan akses pendidikan, dan pemerataan akses terhadap sumber daya menjadi kunci untuk mengatasi ketimpangan dan mengurangi angka kemiskinan. Tantangan utama bagi para kepala daerah adalah bagaimana menjembatani kesenjangan ekonomi yang ada dan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi berdampak positif bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir kelompok tertentu.
Kesimpulannya, paradoks pertumbuhan ekonomi tinggi dan angka kemiskinan yang tetap tinggi di kawasan Rebana menuntut respon kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi. Pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama untuk merumuskan strategi pembangunan yang berkelanjutan, menekankan pada pemerataan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat di kawasan Rebana. Keberhasilan dalam mengatasi tantangan ini akan menentukan keberhasilan pembangunan kawasan Rebana sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Barat yang berkeadilan dan berkelanjutan.