Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, proyek ambisius yang diharapkan menjadi pintu gerbang utama Jawa Barat, kini tengah menghadapi krisis eksistensial. Kondisi bandara yang nyaris sepi penumpang, dengan hanya dua rute penerbangan yang beroperasi, telah mendorong seruan mendesak kepada pemerintah pusat untuk segera turun tangan menyelamatkan aset negara tersebut.
Mantan Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, Bey Triadi Machmudin, dalam paparannya di detikcom Regional Summit, Senin (19/5/2025), melukiskan gambaran suram Bandara Kertajati. Ia menggunakan istilah "berdarah-darah" untuk menggambarkan kondisi kritis bandara yang telah dialaminya sejak awal beroperasi pada Oktober 2023. Menurut Bey, jumlah penumpang harian saat ini diperkirakan jauh di bawah 1.000 orang, bahkan mungkin kurang dari 500 orang. Angka ini jauh dari proyeksi awal yang mencapai 2.000 penumpang per hari pada Oktober 2023, sementara potensi ekonomi idealnya mencapai 7.500 penumpang per hari.
"Kondisi ini sangat memprihatinkan," tegas Bey. Ia mengungkapkan percakapannya dengan Direktur Utama BIJB, Muhammad Singgih, yang mengkonfirmasi minimnya aktivitas penerbangan di Kertajati. Saat ini, hanya dua rute yang masih beroperasi, yaitu penerbangan ke Balikpapan dan Singapura. "Alhamdulillah, masih bisa bertahan," kata Bey, sembari menambahkan bahwa penyelamatan sementara hanya bergantung pada operasional penerbangan haji dalam sebulan terakhir.
Bey menekankan urgensi peningkatan frekuensi penerbangan di Kertajati. Ia secara langsung meminta Menteri Dalam Negeri dan Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan untuk mengambil langkah konkret dalam mengatasi permasalahan ini. "Kertajati sudah sangat ‘berdarah-darah’ sejak awal saya menjabat," ujarnya, menekankan keparahan situasi yang dihadapi bandara tersebut.
Kondisi memprihatinkan ini, menurut Bey, bukan tanpa alasan. Sebuah kajian yang dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan bahwa Kertajati sebenarnya dapat beroperasi secara optimal hanya dengan satu maskapai yang menyediakan 10 pesawat. Namun, kendala utama terletak pada keterbatasan jam terbang yang tersedia. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih memilih terbang dari Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, meskipun waktu tempuh menjadi kurang efisien.
"Kurangnya jam terbang dan aksesibilitas yang kurang optimal menjadi faktor krusial yang perlu segera diatasi," jelas Bey. Ia menambahkan bahwa solusi detail dan komprehensif sangat dibutuhkan untuk menghidupkan kembali Kertajati. Sebagai contoh positif, Bey menyinggung peran Persib Bandung yang konsisten menggunakan Bandara Kertajati untuk keberangkatan tim.
Bey juga menyoroti peran Kementerian Perhubungan dalam pengambilan kebijakan yang berdampak pada keberlangsungan Kertajati. Ia mencontohkan kebijakan pembukaan rute penerbangan Garuda Indonesia dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Medan dan rute-rute ramai lainnya beberapa tahun lalu. Kebijakan tersebut, menurut Bey, justru berdampak negatif pada Kertajati karena masyarakat lebih memilih terbang dari Halim, terutama dengan kedekatannya dengan Stasiun Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Lebih lanjut, Bey mengingatkan pentingnya koordinasi pemerintah dalam rencana pengaktifan kembali Bandara Husein Sastranegara di Bandung. Ia khawatir pembukaan kembali Bandara Husein akan semakin mematikan Bandara Kertajati. "Koordinasi dan kolaborasi sangat krusial," tegas Bey. "Jangan sampai pembukaan Husein justru mematikan Kertajati. Pemerintah Provinsi Jawa Barat lebih menginginkan Husein tidak dibuka dulu," tambahnya.
Kesimpulannya, nasib Bandara Kertajati berada di ujung tanduk. Minimnya penumpang, keterbatasan jam terbang, dan kurangnya dukungan kebijakan pemerintah menjadi faktor utama yang menyebabkan kondisi kritis ini. Seruan mantan Pj Gubernur Jawa Barat kepada pemerintah pusat untuk segera melakukan intervensi bukan sekadar himbauan, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan investasi besar-besaran yang telah ditanamkan di Bandara Kertajati dan mencegah kerugian ekonomi yang lebih besar di masa mendatang. Perencanaan yang matang, koordinasi antar kementerian, dan strategi pemasaran yang efektif menjadi kunci untuk menghidupkan kembali bandara ini dan merealisasikan potensinya sebagai pintu gerbang utama Jawa Barat. Kegagalan dalam menangani permasalahan ini akan menjadi kerugian besar bagi perekonomian Jawa Barat dan Indonesia secara keseluruhan.