Sengketa Pertanahan Kronis: DPR Desak BPN Cari Solusi Konkret

Jakarta, 20 Mei 2025 – Persoalan pertanahan di Indonesia, khususnya Jawa Barat, kembali menjadi sorotan tajam. Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Barat, Yuniar Hikmat Ginanjar, Senin (19/5/2025), mengungkap konflik pertanahan yang telah berlangsung puluhan tahun dan belum menemukan titik terang. Konflik ini melibatkan masyarakat, TNI Angkatan Udara (AU), dan sejumlah Kementerian/Lembaga, menunjukkan lemahnya tata kelola pertanahan di Indonesia dan mendesak diperlukannya solusi komprehensif dan segera.

Yuniar Hikmat Ginanjar memaparkan sejumlah kasus sengketa tanah yang kompleks dan berlarut-larut. Ia mencatat konflik yang melibatkan TNI AU sebagai pihak yang paling menonjol. Salah satu kasus yang paling mencolok adalah sengketa aset tanah di Peta 76, meliputi wilayah Kota Bandung dan Cimahi. Tanah yang berada di wilayah TNI AU Husein Sastranegara ini telah menjadi sumber konflik selama hampir lima dekade, tanpa penyelesaian yang memuaskan.

"Permasalahan konflik masyarakat dengan TNI AU di Jawa Barat cukup banyak, dan saya yakin di provinsi lain juga demikian. Kasus-kasus ini telah kami identifikasi, dan sayangnya, hingga kini belum ada perubahan berarti," ungkap Yuniar dalam RDP tersebut.

Selain di wilayah Bandung dan Cimahi, konflik serupa juga terjadi di beberapa lokasi lain. Yuniar mencontohkan sengketa tanah di Atang Sanjaya, Kabupaten Bogor; tanah TNI AU di Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi; dan tanah Lanud Sukatani, Kabupaten Majalengka. "Tanah Lanud Sukatani juga termasuk yang telah berlarut-larut tanpa penyelesaian," tegasnya.

Lebih lanjut, Yuniar menjelaskan konflik pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan Kementerian/Lembaga. Ia menunjuk beberapa contoh kasus, antara lain penguasaan lahan di kawasan kehutanan Desa Mulya Sari dan Mulya Sejati, Kabupaten Karawang; sengketa lahan di wilayah PLTU Kanci; dan permasalahan lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) Sampora, Margawindu, dan Tamiang Sapu di Kabupaten Sumedang. Kasus terakhir ini melibatkan klaim beberapa pihak swasta atas lahan yang semula dilepaskan oleh Kementerian untuk PT. Bukit Jonggol Asri, serta tuntutan redistribusi tanah dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat.

Sengketa Pertanahan Kronis: DPR Desak BPN Cari Solusi Konkret

Konflik juga terjadi di Komplek Transmigrasi Lokal Langensari, Kota Banjar, dan lahan eks HGU PT. PDAP (aset BUMD Pemprov Jabar) seluas 1947 Ha. HGU lahan tersebut telah berakhir sejak tahun 2012, namun hingga kini masih banyak dikuasai masyarakat. "Saya kira, konflik masyarakat dengan badan dan perseorangan pada akhirnya akan kita arahkan pada penyelesaian melalui jalur hukum," tambah Yuniar.

Kebuntuan penyelesaian sengketa pertanahan ini mendapat reaksi keras dari Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda. Ia mendesak Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera mencari solusi konkret atas permasalahan yang telah berlangsung puluhan tahun ini. Rifqinizamy menegaskan bahwa konflik tanah bukanlah hal baru, dan mencontohkan kasus serupa di Kota Banjar Baru, Kalimantan Selatan.

"Di daerah pemilihan saya juga ada kasus serupa, pak. Luasnya mencapai 5 km x 5 km di Kota Banjar Baru. Aset yang terdaftar di negara seluas itu, di dalamnya terdapat sawah, kampung, dan berbagai macam bangunan. Sampai saat ini belum ada solusi. Oleh karena itu, saya meminta kepada Sekretaris Jenderal ATR dan Direktur Jenderal ATR untuk mencarikan solusi," tegas Rifqinizamy.

Ia juga menyoroti masalah tumpang tindih kepemilikan tanah antara masyarakat pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) dan klaim Kementerian atas tanah yang tidak dikuasai secara fisik. "Saya punya teman yang memiliki tanah HGB, tiba-tiba di sebelahnya ada klaim dari Kementerian, padahal Kementerian tidak menguasai lahan tersebut secara fisik. Ketika dilaporkan ke Dirjen Perbendaharaan Negara, koordinat tanah teman saya malah dimasukkan ke dalam daftar aset Kementerian," ungkap Rifqinizamy.

"Tanah tersebut terdaftar sebagai aset Kementerian, padahal yang menguasai dan berhak atas tanah tersebut adalah pemilik HGB. Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Jangan sampai tidak ada solusi," tambahnya. Pernyataan Rifqinizamy ini menggarisbawahi pentingnya koordinasi antar lembaga dan penegakan hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Kasus-kasus yang dipaparkan menunjukkan adanya kelemahan sistem yang memungkinkan terjadinya tumpang tindih kepemilikan dan menghambat penyelesaian konflik.

RDP ini menjadi bukti nyata betapa kompleks dan kronisnya masalah pertanahan di Indonesia. Ketidakjelasan status kepemilikan, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya koordinasi antar lembaga menjadi faktor utama penyebab berlarut-larutnya konflik. Desakan DPR kepada BPN untuk segera mencari solusi konkret menjadi langkah penting, namun implementasinya membutuhkan komitmen dan tindakan nyata dari seluruh pihak terkait. Solusi yang dibutuhkan bukan hanya penyelesaian kasus per kasus, tetapi juga reformasi sistem pertanahan yang lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Kegagalan dalam mengatasi masalah ini akan terus mengancam stabilitas sosial dan pembangunan ekonomi di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *