Jakarta, 19 Mei 2025 – Maraknya praktik wisata ilegal di Indonesia menjadi pukulan telak bagi pelaku usaha pariwisata resmi. Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) menyuarakan keprihatinan mendalam atas fenomena ini, yang tak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga berpotensi merusak citra pariwisata Indonesia di mata dunia. Ketua Umum DPP ASITA, Nunung Rusmiati, mengungkapkan keresahan tersebut dalam keterangan resminya Minggu kemarin.
Nunung menuding praktik ilegal ini merajalela dalam berbagai bentuk. Yang paling mencolok adalah menjamurnya akomodasi tak berizin, mulai dari vila pribadi hingga rumah kos yang disewakan secara ilegal kepada wisatawan asing. "Ketika turis asing memilih menginap di tempat-tempat tersebut, mereka tidak terdaftar dan otomatis tidak membayar pajak," tegas Nunung. Hal ini menimbulkan kerugian ganda: pelaku usaha resmi yang patuh aturan dirugikan karena persaingan tidak sehat, sementara negara kehilangan potensi pendapatan signifikan dari pajak dan retribusi. Kerugian ini semakin besar mengingat lonjakan jumlah wisatawan asing pasca pandemi.
Bukan hanya akomodasi, praktik ilegal juga merambah ke sektor pemandu wisata. Nunung mencontohkan kasus penangkapan dua warga negara Polandia di Bandara Ngurah Rai, Bali, Februari lalu. Kedua warga negara tersebut diduga bertindak sebagai pemandu wisata ilegal bagi sesama turis asing, menggunakan visa kunjungan, bukan visa kerja yang seharusnya dimiliki. "Mereka bahkan menggunakan bahasa ibu mereka untuk menarik wisatawan sejenis. Ini jelas-jelas merugikan pemandu wisata lokal yang telah tersertifikasi dan telah membayar izin usaha," ujar Nunung dengan nada tegas.
Dampak buruk praktik ilegal ini terhadap pelaku usaha domestik, khususnya UMKM dan anggota ASITA, sangat signifikan. Tingginya biaya operasional usaha travel lokal yang dihadapkan pada persaingan tidak sehat dari bisnis ilegal membuat banyak agen perjalanan kesulitan bertahan. Nunung menekankan bahwa minimnya pengawasan terhadap praktik ilegal memperparah situasi ini.
Untuk mengatasi masalah ini, ASITA mendorong kolaborasi erat antara pemerintah dan pelaku usaha pariwisata. Nunung mengusulkan empat langkah strategis:
Pertama, pengawasan ketat terhadap praktik ilegal. Hal ini membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penyedia akomodasi dan pemandu wisata ilegal. Sanksi yang tegas perlu diterapkan untuk memberikan efek jera.
Kedua, pemberdayaan pelaku lokal melalui promosi dan insentif. Pemerintah perlu memberikan dukungan nyata kepada pelaku usaha lokal melalui program promosi yang efektif dan pemberian insentif fiskal. Hal ini akan membantu mereka bersaing secara sehat dengan pelaku usaha ilegal.
Ketiga, edukasi kepada wisatawan untuk memilih layanan berizin. Kampanye edukasi yang masif perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran wisatawan asing akan pentingnya memilih layanan pariwisata yang resmi dan berizin. Hal ini akan melindungi mereka dari potensi risiko dan memastikan kontribusi mereka terhadap perekonomian Indonesia.
Keempat, keterlibatan asosiasi dalam proses penyusunan kebijakan. ASITA dan asosiasi pariwisata lainnya perlu dilibatkan secara aktif dalam proses penyusunan kebijakan terkait pariwisata. Hal ini akan memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan responsif terhadap kebutuhan dan tantangan yang dihadapi pelaku usaha.
Lebih lanjut, Nunung menyarankan forum komunikasi rutin antara seluruh stakeholder pariwisata, termasuk pengelola destinasi, agen perjalanan, hotel, toko oleh-oleh, pemandu wisata, dan pemerintah (khususnya Kementerian Pariwisata), diselenggarakan secara berkala, misalnya setiap triwulan atau enam bulan. Forum ini akan menjadi wadah efektif untuk pelaporan kondisi lapangan dan dasar pembentukan kebijakan yang lebih tepat sasaran. "Pariwisata kita bisa tumbuh sehat dan inklusif jika ada kemauan politik, pengawasan yang tegas, dan keberpihakan terhadap pelaku usaha domestik," pungkas Nunung.
Kekhawatiran ASITA diamini oleh Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, I Putu Anom. Anom mengamati tren penurunan okupansi hotel-hotel resmi akibat banyaknya wisatawan asing yang memilih akomodasi ilegal. "Padahal jumlah wisatawan asing meningkat tajam pasca pandemi, dari 5,8 juta di tahun 2022 menjadi 13,9 juta di tahun 2024. Namun sektor perhotelan tak ikut tumbuh karena tergeser oleh penginapan ilegal," jelas Anom.
Anom juga menyoroti praktik penyewaan properti atas nama warga lokal yang kemudian disewakan kembali kepada turis asing oleh pemilik aslinya, serta praktik predatory pricing dari OTA asing yang merugikan pelaku lokal dan pengalihan beban pajak. Dampaknya sangat nyata: penurunan okupansi menyebabkan pemotongan bonus hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor perhotelan, dan penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bergantung pada sektor pariwisata. "Pengawasan perlu diperketat. Pemerintah daerah seperti Pemkab Badung kini sudah mulai turun langsung. Karena pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata sangat besar, mereka tak bisa tinggal diam. Jika PAD turun, jelas APBD ikut terdampak," tutup Anom.
Kesimpulannya, praktik wisata ilegal bukan hanya masalah ekonomi semata, tetapi juga ancaman serius terhadap keberlanjutan sektor pariwisata Indonesia. Kolaborasi yang kuat antara pemerintah dan pelaku usaha, disertai dengan pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas, menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem pariwisata yang sehat, berkelanjutan, dan berkeadilan bagi semua pihak. Kehilangan pendapatan negara dan dampak negatif terhadap perekonomian lokal harus menjadi alarm bagi semua pihak untuk segera bertindak.