Jakarta, 16 Mei 2025 – Pemerintah Indonesia tengah merancang proyek ambisius pengembangan ekosistem peternakan terintegrasi skala besar, berkolaborasi dengan investor asal Brasil, Asia Beef. Proyek ini diyakini mampu menjawab tantangan pemenuhan kebutuhan daging dan susu sapi nasional, sekaligus mendukung program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Hal ini terungkap dalam pertemuan antara Menteri Transmigrasi Iftitah Sulaiman Suryanagara, Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM Todotua Pasaribu, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Agung Suganda, dan perwakilan Asia Beef.
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi, Todotua Pasaribu, menjelaskan bahwa diskusi tersebut difokuskan pada pembentukan investasi untuk membangun ekosistem peternakan sapi yang komprehensif. Ekosistem ini akan mencakup seluruh rantai nilai, mulai dari pembibitan sapi potong dan perah hingga pengolahan produk hilirnya. "Proyek ini akan mencakup industri pengolahan susu, dan yang terpenting, mendukung program pemerintah dalam memenuhi kebutuhan daging untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG)," ujar Todotua dalam pernyataan pers.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan melaksanakan proyek percontohan (pilot project) di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), memanfaatkan lahan seluas 10.000 hektare untuk membudidayakan 5.000 ekor sapi pedaging betina di kawasan transmigrasi. "Kami berharap proyek ini dapat segera direalisasikan tahun ini. Konsepnya adalah membangun ekosistem pertanian peternakan terintegrasi dengan pendekatan hilirisasi," tegas Todotua.
Pemerintah Indonesia melihat potensi besar dalam proyek ini untuk mengurangi ketergantungan pada impor produk olahan sapi. Tingginya konsumsi daging dan susu dalam negeri menjadikan Indonesia pasar yang sangat menarik bagi investor. "Investor telah menyatakan potensi besar Indonesia dalam pengembangan sektor ini. Kini tinggal bagaimana kita melakukan konsolidasi dan mengelola pilot project ini dalam satu ekosistem terpadu, termasuk membangun konsep kawasan yang memperhatikan aspek hilirisasi industri," tambah Todotua.
Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman Suryanagara, mengungkapkan tantangan utama dalam pengembangan industri peternakan adalah ketersediaan lahan. Oleh karena itu, kerja sama ini akan memanfaatkan lahan transmigrasi secara optimal. "Saat ini kami mengelola 3,1 juta hektare lahan HPL Transmigrasi, dengan potensi pengembangan sekitar 525.995 hektare. Lahan inilah yang kami tawarkan kepada investor dengan konsep baru," jelas Iftitah.
Konsep baru yang ditawarkan berbeda dengan pola transmigrasi konvensional. "Pada pola transmigrasi lama, setiap transmigran mendapat jatah 2 hektare tanah. Namun, ke depan, kami hanya akan memberikan rumah dan pekarangan, sementara lahan akan dikomunalkan," terang Iftitah. Lahan yang dikomunalkan ini akan menjadi aset korporasi masyarakat, yang kemudian dikonversi menjadi ekuitas dalam bentuk saham dan dibagikan kepada masyarakat setempat.
"Investor sangat antusias dengan konsep ini karena memungkinkan kerja sama yang saling menguntungkan antara perusahaan dan masyarakat melalui skema bagi hasil (profit sharing). Kami akan merinci perencanaan detailnya," tambah Iftitah.
Proyek peternakan terintegrasi ini bukan hanya sekadar investasi bisnis, tetapi juga memiliki implikasi strategis bagi ketahanan pangan nasional. Dengan mengurangi impor dan meningkatkan produksi dalam negeri, Indonesia diharapkan mampu memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat, khususnya untuk program MBG yang menargetkan peningkatan gizi anak-anak Indonesia.
Kolaborasi dengan investor asing seperti Asia Beef diharapkan dapat mempercepat transfer teknologi dan keahlian dalam pengelolaan peternakan modern dan berkelanjutan. Penggunaan teknologi canggih dalam budidaya, pengolahan, dan distribusi produk peternakan akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Namun, proyek ini juga perlu memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan. Penggunaan lahan yang luas membutuhkan perencanaan yang matang untuk mencegah dampak negatif terhadap lingkungan, seperti deforestasi dan degradasi lahan. Penerapan praktik pertanian berkelanjutan, seperti pengelolaan air dan pupuk yang efisien, menjadi krusial untuk keberhasilan jangka panjang proyek ini.
Selain itu, aspek pemberdayaan masyarakat lokal juga perlu menjadi fokus utama. Pengembangan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan peternakan dan pengolahan produk hilir akan memastikan keberlanjutan ekonomi dan sosial proyek ini. Pembagian saham kepada masyarakat setempat akan memberikan mereka kepemilikan dan partisipasi langsung dalam keberhasilan proyek, sehingga menciptakan dampak ekonomi yang merata.
Keberhasilan proyek ini akan menjadi contoh bagi pengembangan sektor peternakan di Indonesia dan dapat direplikasi di daerah lain. Integrasi antara sektor pertanian, industri pengolahan, dan pemasaran akan menciptakan nilai tambah yang signifikan bagi perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, pengawasan dan evaluasi yang ketat diperlukan untuk memastikan proyek ini berjalan sesuai rencana dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek juga menjadi kunci keberhasilannya. Pemerintah perlu memastikan bahwa manfaat proyek ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat di Sumba Timur.