Pemerintah Tegas Tolak Moratorium Ekspor Kelapa, Meski Harga Dalam Negeri Melonjak

Jakarta, 16 Mei 2025 – Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), dengan tegas menolak usulan moratorium ekspor kelapa meskipun harga komoditas tersebut di pasar domestik tengah melambung tinggi. Alih-alih menghentikan ekspor, Zulhas justru mendorong peningkatan produksi dalam negeri melalui penambahan lahan tanam. Pernyataan ini disampaikan Zulhas di sela-sela acara World of Coffee Jakarta 2025 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Kamis (15/5/2025).

"Kenaikan harga kelapa ini justru positif bagi petani," ujar Zulhas. Ia berpendapat bahwa tingginya permintaan ekspor, khususnya dari Tiongkok, memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan melakukan penanaman ulang. Hal ini, menurutnya, akan berdampak positif pada peningkatan pendapatan dan perputaran ekonomi di sektor perkebunan kelapa.

"Tidak ada rencana penghentian ekspor kelapa," tegas Zulhas. "Petani saat ini sedang giat menanam, dan itu bagus."

Pernyataan Zulhas ini bertolak belakang dengan usulan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang sebelumnya mengusulkan moratorium ekspor kelapa bulat selama enam bulan. Usulan tersebut diajukan sebagai langkah jangka pendek untuk menstabilkan pasokan domestik yang tengah mengalami kelangkaan. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, dalam keterangan tertulis pada Jumat (21/3/2025), menjelaskan bahwa kelangkaan bahan baku kelapa telah berdampak negatif pada industri pengolahan kelapa di dalam negeri, bahkan mengancam keberlangsungan usaha dan menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Dalam rapat koordinasi antar kementerian/lembaga, kami mengusulkan moratorium ekspor kelapa bulat sebagai solusi jangka pendek (3-6 bulan) untuk menstabilkan pasokan domestik," jelas Ardika.

Pemerintah Tegas Tolak Moratorium Ekspor Kelapa, Meski Harga Dalam Negeri Melonjak

Namun, Zulhas tampaknya memiliki pandangan berbeda. Ia menilai tingginya harga kelapa di Indonesia disebabkan oleh melonjaknya permintaan ekspor, terutama dari Tiongkok yang saat ini tengah memanfaatkan santan kelapa sebagai alternatif pengganti susu dalam industri minuman, khususnya kopi.

"Kelapa sekarang langka karena banyak diolah menjadi susu kelapa," terang Zulhas. "Di Tiongkok, tren minum kopi dengan santan kelapa sedang meningkat, sehingga permintaan kelapa meningkat tajam."

Data di lapangan menunjukkan kenaikan harga kelapa yang signifikan. Pantauan detikcom di Pasar Rawa Bebek, Bekasi, pada 11 April 2025, menunjukkan harga kelapa parut mencapai Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per butir, tergantung ukuran. Harga ini hampir dua kali lipat dari harga normal yang berkisar antara Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per butir. "Sekarang Rp 20.000-25.000, tergantung ukurannya," ujar Usin, seorang pedagang di pasar tersebut. "Kalau yang kecil Rp 20.000, kalau yang gede Rp 25.000. Biasanya yang gede paling Rp 15.000, yang kecil Rp 10.000."

Perbedaan pandangan antara Kemenperin dan Menko Pangan ini menimbulkan pertanyaan mengenai strategi pemerintah dalam menghadapi fluktuasi harga kelapa. Di satu sisi, Kemenperin melihat perlunya intervensi pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri dan mencegah PHK dengan menerapkan moratorium ekspor. Di sisi lain, Menko Pangan lebih menekankan pada peningkatan produksi dalam negeri sebagai solusi jangka panjang, tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin terjadi pada industri pengolahan kelapa di dalam negeri akibat kelangkaan bahan baku.

Keputusan pemerintah untuk menolak moratorium ekspor kelapa memiliki potensi risiko yang signifikan. Jika permintaan ekspor terus meningkat tanpa diimbangi dengan peningkatan produksi dalam negeri, maka kelangkaan kelapa dan lonjakan harga di pasar domestik berpotensi berkelanjutan. Hal ini dapat berdampak pada industri pengolahan kelapa dalam negeri, mengakibatkan penurunan produksi, bahkan potensi penutupan usaha. Selain itu, masyarakat juga akan menanggung beban akibat harga kelapa yang tinggi.

Pertanyaannya kini adalah, seberapa efektifkah strategi peningkatan produksi dalam negeri untuk mengatasi masalah ini dalam jangka waktu yang relatif singkat? Apakah pemerintah memiliki program dan dukungan yang memadai bagi petani untuk meningkatkan produksi kelapa secara signifikan dalam waktu dekat? Dan, bagaimana pemerintah akan melindungi industri pengolahan kelapa dalam negeri dari dampak negatif kelangkaan bahan baku selama masa transisi menuju peningkatan produksi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan keberhasilan strategi pemerintah dalam menghadapi tantangan fluktuasi harga kelapa dan memastikan keberlanjutan industri kelapa di Indonesia. Kejelasan strategi dan langkah konkret pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian dan rasa aman bagi para pelaku usaha dan masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *