Pemerintah Perluas Jaring Pengaman Sosial: Korban PHK Terima 60% Gaji Selama Enam Bulan

Jakarta, 15 Mei 2025 – Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang meningkat tajam di tengah dinamika ekonomi global mendorong pemerintah untuk memperkuat jaring pengaman sosial bagi pekerja terdampak. Melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan), pemerintah memperluas cakupan dan manfaat Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan aturan terbaru yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025. PP ini merevisi PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, memberikan harapan baru bagi para pekerja yang terkena PHK.

Aturan baru ini memberikan akses yang lebih luas kepada para pekerja yang kehilangan pekerjaan. Pasal 19 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2025 secara tegas menyebutkan bahwa manfaat JKP diberikan kepada seluruh peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja, baik yang memiliki perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tertentu (PKWTT). Hal ini menandakan komitmen pemerintah untuk melindungi seluruh pekerja, tanpa terkecuali, dari dampak negatif PHK.

Namun, akses terhadap manfaat JKP tidak diberikan secara otomatis. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pekerja yang mengajukan klaim. Salah satu syarat utama yang diatur dalam Pasal 19 ayat (3) PP tersebut adalah masa iuran kepesertaan di BPJS Ketenagakerjaan. Peserta harus memiliki masa iuran minimal 12 bulan dalam kurun waktu 24 bulan kalender sebelum terjadinya PHK atau pengakhiran hubungan kerja. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan bahwa hanya pekerja yang telah berkontribusi secara signifikan pada sistem jaminan sosial yang berhak menerima manfaat JKP.

Besaran manfaat JKP yang diberikan kepada pekerja terdampak PHK adalah sebesar 60% dari upah terakhir yang dilaporkan oleh perusahaan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Manfaat ini diberikan selama maksimal enam bulan. Pasal 21 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2025 secara spesifik menjelaskan bahwa dasar perhitungan manfaat uang tunai JKP adalah upah terakhir pekerja yang dilaporkan oleh pemberi kerja. Namun, terdapat batasan atas yang diterapkan, yakni upah maksimal yang diperhitungkan adalah sebesar Rp 5.000.000,00. Artinya, meskipun upah pekerja melebihi angka tersebut, perhitungan manfaat JKP tetap menggunakan angka maksimal Rp 5.000.000,00.

Kebijakan ini dirancang untuk memberikan perlindungan finansial yang memadai bagi pekerja yang mengalami PHK, sekaligus mencegah dampak sosial ekonomi yang lebih luas. Bantuan finansial sebesar 60% dari upah selama enam bulan diharapkan dapat membantu para pekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka, seperti biaya makan, tempat tinggal, dan pendidikan anak, selama masa transisi mencari pekerjaan baru.

Pemerintah Perluas Jaring Pengaman Sosial: Korban PHK Terima 60% Gaji Selama Enam Bulan

Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua pekerja yang mengalami PHK berhak menerima manfaat JKP. Pasal-pasal selanjutnya dalam PP Nomor 6 Tahun 2025 secara jelas mencantumkan beberapa pengecualian. Pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena pensiun, pekerja yang meninggal dunia, dan pekerja yang pemutusan hubungan kerjanya dikategorikan sebagai catatan tetap, tidak termasuk dalam kategori penerima manfaat JKP. Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga agar program JKP tetap terarah dan efektif dalam memberikan bantuan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.

Penerbitan PP Nomor 6 Tahun 2025 ini menandai langkah signifikan pemerintah dalam meningkatkan perlindungan sosial bagi pekerja di Indonesia. Program JKP yang diperluas cakupannya ini diharapkan dapat menjadi bantalan sosial yang efektif dalam menghadapi tantangan ekonomi yang dinamis. Dengan memberikan kepastian akses terhadap manfaat JKP, pemerintah berupaya untuk mengurangi dampak negatif PHK terhadap kehidupan pekerja dan keluarga mereka, serta mendorong stabilitas ekonomi nasional.

Namun, implementasi program ini membutuhkan pengawasan dan evaluasi yang ketat untuk memastikan efektivitas dan keadilannya. Transparansi dalam proses pencairan manfaat JKP sangat penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan dan memastikan bahwa manfaat tersebut benar-benar sampai kepada mereka yang berhak menerimanya. Selain itu, perlu adanya sosialisasi yang intensif kepada para pekerja dan perusahaan agar mereka memahami mekanisme dan persyaratan untuk mendapatkan manfaat JKP.

Ke depan, pemerintah perlu terus melakukan evaluasi terhadap program JKP dan melakukan penyesuaian sesuai dengan perkembangan ekonomi dan kebutuhan pekerja. Peningkatan akses informasi, penyederhanaan prosedur klaim, dan peningkatan kapasitas petugas BPJS Ketenagakerjaan dalam melayani peserta menjadi hal krusial untuk memastikan keberhasilan program ini. Dengan demikian, JKP dapat menjadi instrumen yang efektif dalam melindungi pekerja dari risiko kehilangan pekerjaan dan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Program ini bukan hanya sekadar jaring pengaman, melainkan juga investasi pemerintah dalam sumber daya manusia Indonesia yang berkelanjutan. Suksesnya program ini bergantung pada kolaborasi yang erat antara pemerintah, BPJS Ketenagakerjaan, perusahaan, dan pekerja itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *