Gelombang PHK di Indonesia: Survei Apindo Ungkap Lima Faktor Utama

Jakarta, 13 Mei 2025 – Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda Indonesia terus menjadi sorotan. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), melalui survei yang dilakukan terhadap 357 perusahaan anggota per Maret 2025, mengungkap lima faktor utama yang mendorong perusahaan-perusahaan tersebut melakukan PHK. Temuan ini menimbulkan kekhawatiran di tengah upaya pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja baru dan menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks.

Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, dalam Media Briefing Apindo Indonesia Quarterly Update di Jakarta Selatan, mengungkapkan paradoks yang dihadapi Indonesia. Di satu sisi, investasi baru menciptakan lapangan kerja. Namun, angka tersebut masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan penyerapan tenaga kerja yang ideal. "Walaupun sudah ada pekerjaan baru dari investasi yang masuk, ini tidak bisa memadai dengan kondisi yang ada. Yang jelas, kenaikan yang sangat signifikan dan tidak berhenti di sini," tegas Shinta, menekankan bahwa angka PHK yang terjadi jauh melebihi penciptaan lapangan kerja baru. Indonesia, menurutnya, membutuhkan penciptaan 3-4 juta lapangan kerja baru setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Survei Apindo sendiri mengungkap gambaran yang mengkhawatirkan. Faktor utama yang mendorong PHK, berdasarkan suara terbanyak dari perusahaan yang disurvei, adalah penurunan permintaan pasar. Sebanyak 69,4% perusahaan yang menjadi responden mengakui penurunan permintaan sebagai penyebab utama PHK yang dilakukan. Angka ini menunjukkan dampak signifikan dari perlambatan ekonomi global dan perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap kinerja perusahaan di Indonesia.

Di posisi kedua, dengan persentase 43,4%, kenaikan biaya produksi menjadi penyebab utama PHK. Kenaikan harga bahan baku, energi, dan logistik yang signifikan dalam beberapa waktu terakhir memberikan tekanan besar pada profitabilitas perusahaan. Kondisi ini memaksa banyak perusahaan untuk melakukan efisiensi, termasuk melalui pengurangan jumlah karyawan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dengan menekan inflasi dan memastikan ketersediaan bahan baku dengan harga yang terjangkau.

Perubahan regulasi ketenagakerjaan, khususnya terkait upah minimum (UM), juga menjadi faktor penting yang mendorong PHK. Sebanyak 33,2% perusahaan yang disurvei menyatakan bahwa kenaikan UM menjadi salah satu alasan pengurangan karyawan. Meskipun kenaikan UM bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, hal ini juga dapat memberikan beban tambahan bagi perusahaan, terutama bagi perusahaan skala kecil dan menengah (UKM) yang memiliki daya saing lebih terbatas. Perlu kajian lebih mendalam untuk menyeimbangkan antara peningkatan kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan usaha perusahaan.

Gelombang PHK di Indonesia: Survei Apindo Ungkap Lima Faktor Utama

Tekanan produk impor juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Sebanyak 21,4% perusahaan menyatakan bahwa persaingan yang ketat dengan produk impor memaksa mereka untuk melakukan PHK. Hal ini menunjukkan pentingnya peningkatan daya saing produk dalam negeri melalui inovasi, peningkatan kualitas, dan efisiensi produksi. Pemerintah perlu memberikan dukungan yang lebih besar kepada industri dalam negeri untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat.

Faktor terakhir yang signifikan adalah otomatisasi dan perkembangan teknologi. Sebanyak 20,9% perusahaan melakukan PHK karena penerapan teknologi dan otomatisasi dalam proses produksi. Meskipun otomatisasi dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, hal ini juga berdampak pada pengurangan kebutuhan tenaga kerja manusia. Pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk menghadapi tantangan ini, termasuk melalui program pelatihan dan pengembangan keterampilan untuk pekerja agar mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

Lebih lanjut, survei Apindo juga menunjukkan pesimisme di kalangan pengusaha terhadap investasi baru. Sebanyak 67,1% perusahaan yang disurvei menyatakan tidak berencana untuk melakukan investasi baru dalam satu tahun ke depan. Hal ini menunjukkan ketidakpastian ekonomi yang masih menghantui dunia usaha dan dapat memperparah situasi PHK di masa mendatang.

Data dari BPJS Ketenagakerjaan memperkuat temuan survei Apindo. Sepanjang tahun 2024, tercatat sebanyak 257.471 orang kehilangan pekerjaan dan berhenti dari kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan akibat PHK. Angka ini terus meningkat hingga Maret 2025, dengan penambahan 73.992 peserta yang terkena PHK. Data ini menunjukkan skala masalah PHK yang jauh lebih besar daripada yang terlihat dari survei Apindo saja, karena survei hanya mencakup anggota Apindo.

Shinta Widjaja Kamdani menekankan bahwa pemerintah perlu memperhatikan data-data PHK yang terus meningkat. "Kondisi PHK kita sudah lihat bahwa data-data dari Kementerian Ketenagakerjaan sudah keluar. Dan mereka juga menyadari, kemarin Pak Menteri Ketenagakerjaan (Yassierli) juga menyampaikan bahwa memang ini sesuatu yang perlu diperhatikan karena ada kenaikan," ujarnya. Pernyataan ini menunjukkan perlunya kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah dan dunia usaha untuk mencari solusi yang komprehensif dalam mengatasi masalah PHK dan menciptakan lapangan kerja baru yang berkelanjutan.

Kesimpulannya, gelombang PHK yang melanda Indonesia merupakan masalah kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari penurunan permintaan hingga perkembangan teknologi. Pemerintah dan dunia usaha perlu bekerja sama untuk mengatasi tantangan ini melalui kebijakan yang tepat, peningkatan daya saing industri dalam negeri, dan program pelatihan dan pengembangan keterampilan bagi pekerja. Keberhasilan dalam mengatasi masalah ini akan menentukan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *