Washington D.C. – Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menerima hadiah pesawat mewah senilai US$ 400 juta (sekitar Rp 6,6 triliun) dari keluarga kerajaan Qatar telah memicu gelombang kontroversi dan kritik tajam, terutama dari kubu Partai Demokrat. Trump, dengan gaya khasnya yang lugas dan menantang, membela keputusannya dengan tegas, bahkan menyebut menolak tawaran tersebut sebagai tindakan bodoh.
Pesawat Boeing 747-8 yang ditawarkan, berpotensi menjadi salah satu hadiah paling berharga yang pernah diterima pemerintah AS, direncanakan akan digunakan sebagai Air Force One, pesawat kepresidenan. Namun, janji Trump untuk mendonasikan pesawat tersebut ke perpustakaan kepresidenannya setelah masa jabatannya berakhir, tak cukup meredakan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan.
Pengumuman tersebut, yang pertama kali dilaporkan oleh Reuters pada Selasa (13/5/2025), segera disambut dengan kecaman dari sejumlah anggota Partai Demokrat. Mereka memperingatkan bahwa penerimaan hadiah bernilai fantastis tersebut dapat menciptakan konflik kepentingan yang signifikan, berpotensi memengaruhi kebijakan luar negeri AS, khususnya dalam hubungannya dengan Qatar. Kekhawatiran akan pengaruh asing dan potensi penyalahgunaan kekuasaan juga menjadi sorotan utama kritik mereka.
"Saya pikir itu adalah isyarat yang hebat dari Qatar. Saya sangat menghargainya. Saya tidak akan pernah menolak tawaran semacam itu," tegas Trump kepada awak media di Gedung Putih sebelum keberangkatannya ke Timur Tengah, menunjukkan sikapnya yang tak bergeming di hadapan kritik. Ia melanjutkan dengan nada sinis, "Maksud saya, saya bisa menjadi orang bodoh yang mengatakan, ‘Tidak, kami tidak menginginkan pesawat terbang yang sangat mahal dan gratis.’"
Pernyataan Trump tersebut seolah mengabaikan potensi implikasi etis dan hukum dari penerimaan hadiah bernilai miliaran rupiah tersebut. Ia mencoba membenarkan keputusannya dengan mengaitkannya dengan rasa terima kasih atas dukungan AS terhadap negara-negara di kawasan Teluk, termasuk Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab – negara-negara yang menjadi bagian dari agenda perjalanan resminya minggu itu. Dengan kata lain, hadiah tersebut dianggap sebagai bentuk apresiasi atas bantuan militer dan diplomatik AS.
Namun, argumen pragmatis Trump ini justru semakin memperkuat kecurigaan akan adanya potensi quid pro quo – pertukaran jasa atau keuntungan – yang terselubung. Penerimaan hadiah bernilai demikian besar menimbulkan pertanyaan tentang apakah Qatar mengharapkan imbalan tertentu dari AS di masa mendatang, baik dalam bentuk kebijakan politik, ekonomi, atau militer.
Lebih jauh, Trump juga menggunakan argumen kekecewaan terhadap Boeing sebagai pembenaran. Ia menyatakan ketidakpuasannya atas lambatnya proses pengiriman Air Force One baru yang dipesan selama masa jabatan pertamanya. Dengan demikian, hadiah dari Qatar seolah menjadi solusi instan untuk masalah yang telah lama membelit pemerintahannya.
Kritik terhadap penerimaan hadiah tersebut datang bukan hanya dari kalangan politikus. Para ahli hukum konstitusional dan pakar etika pemerintahan juga turut menyuarakan keprihatinan. Mereka berpendapat bahwa penerimaan hadiah sebesar itu, selain tidak etis, potensial melanggar hukum dan bahkan inkonstitusional. Proses pengadaan dan penerimaan aset negara seharusnya mengikuti prosedur yang ketat dan transparan, bukan melalui jalur pemberian hadiah dari negara asing.
Sejumlah Senator Demokrat, termasuk Brian Schatz, Chris Murphy, Cory Booker, dan Chris Coons, mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam keras tindakan Trump. Mereka menekankan bahwa penerimaan hadiah tersebut akan menciptakan konflik kepentingan yang nyata, menimbulkan pertanyaan serius mengenai keamanan nasional, dan membuka pintu bagi pengaruh asing dalam kebijakan AS.
Anggota Parlemen AS Joe Courtney dari Connecticut juga menambahkan kekhawatirannya, menyatakan bahwa penerimaan hadiah tersebut akan mengganggu upaya Angkatan Udara untuk mempercepat pengiriman armada Air Force One yang telah dipesan secara resmi. Hal ini menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukan hanya menimbulkan masalah etika, tetapi juga berpotensi menghambat operasional militer AS.
Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, mencoba meredakan kehebohan dengan menyatakan bahwa rincian hukum seputar sumbangan ke Departemen Pertahanan masih dalam proses pengkajian. Namun, pernyataannya yang memastikan bahwa pemerintahan Trump tidak khawatir tentang kemungkinan imbalan yang diminta Qatar, justru semakin memperkuat kecurigaan publik.
Peristiwa ini bukan sekadar masalah penerimaan hadiah mewah. Ini menyoroti keprihatinan yang lebih luas mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan Trump, serta potensi konflik kepentingan yang dapat menggerogoti integritas kebijakan luar negeri AS. Pertanyaan tentang apakah hadiah tersebut merupakan bentuk suap terselubung, dan bagaimana hal ini akan memengaruhi hubungan AS dengan Qatar dan negara-negara lain di kawasan Teluk, akan terus menjadi sorotan tajam bagi publik dan media internasional. Debat ini akan terus berlanjut, mengungkapkan celah-celah dalam sistem pengawasan dan etika pemerintahan AS. Ke depan, perlu adanya mekanisme yang lebih kuat untuk mencegah dan menindak potensi konflik kepentingan serupa, agar kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahan tetap terjaga.