Jakarta, 13 Mei 2025 – Kesepakatan gencatan senjata antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam perang dagang mereka telah memicu gelombang optimisme sementara di pasar global. Namun, di balik ketenangan semu ini, Indonesia perlu bersiap menghadapi potensi dampak negatif yang signifikan bagi perekonomian nasional. Meskipun tekanan ekonomi global sedikit mereda, para pengamat mengingatkan bahwa ancaman belum sepenuhnya sirna, dan kewaspadaan tetap menjadi kunci.
Ibrahim Assuaibi, pengamat pasar uang, menekankan bahwa periode gencatan senjata 90 hari ini hanyalah penundaan sementara. "Meskipun selama 90 hari ini tidak diterapkan biaya impor tambahan, setelahnya tarif impor Tiongkok ke Amerika sebesar 30% dan tarif impor Amerika ke Tiongkok sebesar 10% akan kembali diberlakukan," jelasnya kepada detikcom. "Artinya, perang dagang belum berakhir. Pasar masih tetap waswas."
Assuaibi menghubungkan penurunan harga emas belakangan ini dengan meredanya ketegangan geopolitik, baik antara AS dan China maupun antara Israel dan Palestina. Penurunan tensi ini, ditambah dengan kemungkinan penurunan suku bunga oleh bank sentral AS pada bulan Juli, berkontribusi pada penurunan harga emas. Namun, ia memprediksi bahwa penurunan harga emas ini bersifat sementara. Konflik Rusia-Ukraina yang berkelanjutan, misalnya, diyakini akan kembali mendorong harga emas naik dalam waktu dekat.
Sementara itu, Bhima Yudhistira, Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyoroti ancaman serius bagi daya saing ekspor Indonesia. Ia memperingatkan bahwa tarif impor China yang lebih rendah dibandingkan Indonesia ke pasar AS akan memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan bagi produk-produk China.
"Produk-produk asal Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan pakaian jadi berisiko direbut oleh China," ujar Bhima. "Indonesia hanya akan diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi. Ini merupakan ancaman nyata bagi sektor padat karya di Indonesia."
Dampak terhadap potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor padat karya, menurut Bhima, bergantung pada besarnya selisih tarif impor antara Indonesia dan China. Jika tarif ekspor China ke AS jauh lebih rendah, relokasi industri dari Indonesia ke China akan semakin intensif. "Investasi dari AS dan negara Eropa justru mengalir deras ke China, bukan ke Indonesia," tegasnya. "Realisasi investasi Indonesia semakin tertekan, dibuktikan dengan kontraksi PMTB sebesar -7,4% (q-to-q) pada kuartal pertama 2025 dibandingkan kuartal sebelumnya."
Bhima menekankan perlunya strategi yang lebih agresif dari pemerintah Indonesia untuk menghadapi situasi ini. Ia menyarankan agar Indonesia memanfaatkan pembaruan IUPK Freeport dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga sebagai alat tawar-menawar dengan AS. Isu Laut China Selatan juga, menurutnya, perlu diangkat dalam negosiasi untuk menekan AS agar memberikan tarif yang lebih kompetitif bagi Indonesia dibandingkan China.
"Kekhawatiran utama adalah tarif Indonesia yang tetap lebih tinggi daripada China (30%)," kata Bhima. "Kita perlu mewaspadai masuknya barang impor asal China, Vietnam, dan Kamboja ke Indonesia selama masa jeda negosiasi. Persaingan barang impor, bukan kesulitan ekspor ke AS, yang berpotensi menjadi pemicu utama PHK di sektor padat karya Indonesia."
Kesimpulannya, gencatan senjata AS-China bukanlah solusi permanen bagi permasalahan ekonomi global, dan Indonesia tidak boleh terlena oleh ketenangan semu yang tercipta. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah proaktif dan strategis untuk melindungi industri dalam negeri, meningkatkan daya saing ekspor, dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Kegagalan untuk beradaptasi dan merespon secara efektif dapat berujung pada dampak ekonomi yang serius, termasuk peningkatan pengangguran dan penurunan pertumbuhan ekonomi. Kewaspadaan dan strategi yang terukur menjadi kunci bagi Indonesia untuk melewati periode ketidakpastian ini dan memastikan ketahanan ekonomi jangka panjang. Perlu diingat bahwa perang dagang AS-China hanya satu dari beberapa tantangan geopolitik dan ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini, dan strategi komprehensif yang mempertimbangkan berbagai faktor internal dan eksternal sangatlah krusial.