Jakarta, 12 Mei 2025 – Langkah Pemerintah Indonesia yang berencana mengalihkan impor minyak mentah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Singapura ke Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari negosiasi perdagangan bilateral, menuai pro dan kontra. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan strategi ini bertujuan menekan defisit neraca perdagangan AS, sehingga tarif ekspor Indonesia yang mencapai 32% dapat diturunkan. Indonesia mengusulkan peningkatan impor energi dari AS hingga US$ 10 miliar, mencakup minyak mentah, BBM, dan Liquefied Petroleum Gas (LPG). Namun, rencana ambisius ini dibayangi potensi masalah baru yang mengancam keberhasilannya, menurut pengamat.
Gagasan mengalihkan impor ke AS memang secara permukaan menawarkan solusi bagi defisit neraca perdagangan AS. Dengan meningkatkan volume impor dari Indonesia, AS diharapkan dapat mengurangi defisitnya. Namun, Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan kekhawatiran yang signifikan terkait aspek teknis dan ekonomi dari rencana ini. Dalam keterangan resminya kepada detikcom, Fahmy memperingatkan potensi munculnya masalah baru yang bahkan bisa lebih merugikan Indonesia daripada manfaat yang didapat.
Pertama, Fahmy menyoroti ketidaksesuaian potensial antara spesifikasi minyak mentah AS dengan kebutuhan kilang-kilang Pertamina. Minyak mentah yang diimpor dari AS belum tentu kompatibel dengan infrastruktur kilang domestik, sehingga proses pengolahan BBM menjadi terhambat. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan efisiensi produksi dan bahkan berujung pada penutupan sementara kilang. Lebih jauh, Fahmy menekankan bahwa AS belum tentu mampu menyediakan Pertalite, jenis BBM subsidi yang sangat penting bagi Indonesia dan membutuhkan proses blending (pencampuran) khusus yang tidak lazim di pasar AS. Ketidakmampuan menyediakan Pertalite akan berdampak langsung pada ketersediaan BBM di dalam negeri dan berpotensi memicu gejolak harga dan kelangkaan.
Kedua, aspek biaya logistik menjadi pertimbangan krusial. Fahmy memperkirakan harga impor minyak mentah dari AS akan lebih mahal dibandingkan dari Singapura karena jarak tempuh yang jauh lebih panjang. Kenaikan biaya ini akan berdampak langsung pada harga BBM di Indonesia, sehingga kebijakan ini berpotensi menaikkan beban subsidi pemerintah atau bahkan membebani konsumen dengan harga BBM yang lebih tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan awal kebijakan, yaitu menekan defisit neraca perdagangan.
Ketiga, rencana ini berpotensi memicu reaksi dari "mafia migas". Fahmy memprediksi kelompok yang selama ini menikmati rente dari impor BBM melalui Singapura akan berupaya menghalangi pengalihan impor ke AS. Mereka mungkin akan menggunakan berbagai cara, baik secara legal maupun ilegal, untuk mempertahankan posisi dan keuntungan mereka. Pemerintah perlu mempersiapkan strategi antisipasi yang kuat untuk menghadapi potensi sabotase dan manipulasi pasar yang dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut.
Oleh karena itu, Fahmy menekankan pentingnya beberapa langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah sebelum benar-benar melaksanakan rencana pengalihan impor BBM. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa spesifikasi minyak mentah yang diimpor dari AS benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas kilang Pertamina. Studi kelayakan teknis yang komprehensif dan transparan perlu dilakukan untuk menghindari kerugian di kemudian hari. Kedua, pemerintah harus memastikan bahwa AS mampu menyediakan BBM jenis Pertalite atau bahan baku yang dibutuhkan untuk proses blending. Negotiasi yang cermat dan detail diperlukan untuk menjamin ketersediaan pasokan yang kontinu dan sesuai dengan kebutuhan domestik.
Ketiga, pemerintah harus mampu menjamin harga impor dari AS minimal sama dengan, bahkan lebih baik dari, harga impor dari Singapura. Hal ini untuk mencegah peningkatan biaya yang akan membebani APBN atau konsumen. Transparansi dan mekanisme pengawasan yang ketat perlu diterapkan untuk mencegah manipulasi harga oleh pihak-pihak tertentu. Keempat, dan yang tak kalah penting, pemerintah harus memiliki tekad yang kuat untuk memberantas mafia migas yang berpotensi menghambat keberhasilan kebijakan ini. Langkah tegas dan terukur diperlukan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan mencegah praktik-praktik koruptif yang merugikan negara.
Kesimpulannya, rencana pengalihan impor BBM ke AS sebagai upaya untuk menekan defisit neraca perdagangan AS memiliki potensi manfaat, namun juga menyimpan risiko yang signifikan. Keberhasilan rencana ini sangat bergantung pada perencanaan yang matang, negosiasi yang efektif, dan komitmen pemerintah untuk mengatasi potensi masalah yang muncul. Tanpa persiapan yang memadai dan langkah antisipatif yang tepat, rencana ini justru berpotensi menimbulkan masalah baru bagi Indonesia, mengakibatkan kerugian ekonomi dan sosial yang lebih besar daripada manfaat yang diharapkan. Pemerintah perlu mempertimbangkan secara cermat semua aspek, baik ekonomi, teknis, maupun politik, sebelum mengambil keputusan final. Prioritas utama seharusnya adalah memastikan keamanan energi nasional dan kesejahteraan rakyat, bukan hanya sekadar mencapai target defisit neraca perdagangan. Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan proses pengambilan keputusan sangatlah penting untuk mencegah munculnya masalah baru yang justru akan memperumit situasi.