Pemerintah Diharap Evaluasi Kebijakan Cuti Bersama: Antara Hak Pekerja dan Produktivitas Ekonomi

Jakarta, 12 Mei 2025 – Kebijakan cuti bersama di Indonesia tengah menjadi sorotan tajam, khususnya dari kalangan pelaku usaha. Jumlah hari libur nasional yang terbilang tinggi, ditambah cuti bersama, menyebabkan penurunan produktivitas signifikan dan menimbulkan beban finansial bagi perusahaan yang tetap wajib membayar upah penuh karyawan meskipun aktivitas produksi terhenti. Kondisi ini memicu desakan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi cuti bersama yang dinilai perlu penyesuaian untuk menyeimbangkan hak pekerja dan keberlangsungan ekonomi nasional.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, dalam wawancara dengan detikcom, Senin (12/5/2025), mengungkapkan dilema yang dihadapi pemerintah. Ia mengakui bahwa cuti bersama merupakan hak pekerja yang seharusnya diatur sedemikian rupa agar tidak merugikan kedua belah pihak, pekerja dan pengusaha. "Sejatinya, hak cuti berada di bawah kewenangan pegawai, bukan perusahaan," tegas Tauhid. Namun, penerapan cuti bersama secara serentak dan menyeluruh untuk berbagai momen, menurutnya, perlu dikaji ulang.

Tauhid mempertanyakan efektivitas kebijakan cuti bersama yang diberlakukan hampir di setiap momen penting. Ia berpendapat bahwa pendekatan yang lebih terukur dan selektif perlu diterapkan. "Idealnya, cuti bersama hanya difokuskan pada momentum-momentum krusial seperti Hari Raya Idulfitri dan Natal serta Tahun Baru," usulnya. "Momentum lainnya dapat dikembalikan kepada hak individu pekerja untuk mengambil cuti sesuai kebutuhan, tanpa harus diwajibkan cuti bersama secara nasional," tambahnya.

Dengan jumlah hari libur nasional sebanyak 16 hari ditambah 7 hari cuti bersama, Indonesia memiliki total 23 hari libur dalam setahun. Jumlah ini, menurut Tauhid, setara dengan satu bulan kerja efektif yang hilang. "Bayangkan kerugian produktivitas yang ditanggung para pelaku usaha, terutama di sektor manufaktur dan industri yang berorientasi ekspor," ujarnya. Ia membandingkan kondisi ini dengan negara-negara lain yang memiliki jumlah hari libur jauh lebih sedikit. "Di negara lain, mungkin tidak sebanyak di kita," tandasnya.

Lebih lanjut, Tauhid menekankan perlunya pemerintah melakukan evaluasi komprehensif terhadap regulasi cuti bersama. Evaluasi ini tidak hanya berfokus pada aspek jumlah hari libur, tetapi juga pada mekanisme penetapan dan dampaknya terhadap perekonomian. "Pemerintah perlu mengulas kembali regulasi yang ada, terutama terkait dengan kebijakan cuti bersama dan implikasinya terhadap hak dan kewajiban perusahaan terhadap pegawainya," kata Tauhid.

Pemerintah Diharap Evaluasi Kebijakan Cuti Bersama: Antara Hak Pekerja dan Produktivitas Ekonomi

Ia menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan. "Jangan sampai hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan itu hilang. Misalnya, ada cuti bersama, kemudian perusahaan ingin ada pekerjanya yang masuk, itu harus ada hak yang diberikan, misalnya insentif lembur. Jangan sampai dihapuskan," tegasnya. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya eksploitasi pekerja di satu sisi dan kerugian finansial yang signifikan bagi perusahaan di sisi lain.

Sistem cuti yang ideal, menurut Tauhid, harus mampu mengakomodasi kebutuhan pekerja untuk beristirahat dan merayakan hari-hari besar keagamaan atau nasional, tanpa mengorbankan produktivitas ekonomi secara keseluruhan. Ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan sistem cuti yang lebih fleksibel dan berbasis pada kebutuhan individu pekerja, dengan tetap memberikan pedoman yang jelas bagi perusahaan untuk mengatur jadwal kerja dan cuti karyawan.

Sistem ini, menurutnya, dapat mengurangi potensi konflik antara pekerja dan perusahaan terkait cuti. "Sistem yang fleksibel akan memberikan ruang bagi perusahaan untuk merencanakan operasionalnya dengan lebih baik, sambil tetap menghormati hak pekerja untuk beristirahat," jelasnya. Hal ini juga akan memberikan kepastian hukum bagi perusahaan dalam mengatur mekanisme cuti dan kompensasi bagi karyawan yang bekerja selama periode cuti bersama.

Selain itu, Tauhid menyarankan agar pemerintah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan pekerja, pengusaha, dan akademisi, dalam proses evaluasi dan penyusunan kebijakan cuti bersama yang baru. Partisipasi aktif dari semua pihak akan memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan merupakan kesepakatan yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak.

Kesimpulannya, perdebatan mengenai kebijakan cuti bersama di Indonesia menyoroti kompleksitas dalam menyeimbangkan hak pekerja dengan kebutuhan ekonomi nasional. Desakan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi yang ada semakin menguat, dengan harapan tercipta sistem cuti yang lebih adil, efektif, dan berkelanjutan, yang mampu mengakomodasi kebutuhan semua pihak tanpa mengorbankan produktivitas ekonomi dan kesejahteraan pekerja. Pemerintah diharapkan mampu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi dilema ini dan menciptakan solusi yang komprehensif dan berpihak pada kepentingan nasional. Keberhasilan dalam hal ini akan menjadi indikator penting dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif dan meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di kancah global.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *