Jakarta, 11 Mei 2025 – Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) melontarkan kritik tajam terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Organisasi pengusaha terbesar di Indonesia ini menilai sejumlah pasal dalam PP tersebut berpotensi melumpuhkan industri padat karya, khususnya sektor tembakau dan makanan dan minuman (mamin), yang tengah berjuang menghadapi tekanan ekonomi global. Kekhawatiran KADIN bukan tanpa alasan, mengingat regulasi baru ini memuat sejumlah pembatasan yang dinilai terlalu ketat dan kurang mempertimbangkan dampaknya terhadap lapangan kerja.
Salah satu poin yang menjadi sorotan utama adalah kebijakan zonasi penjualan rokok, pembatasan iklan, serta pengaturan ketat kandungan garam, gula, dan lemak (GGL) dalam produk mamin. Menurut KADIN, kebijakan-kebijakan ini, jika diterapkan secara tergesa-gesa dan tanpa kajian mendalam, berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pelaku usaha dan mengancam keberlangsungan ribuan bahkan jutaan lapangan kerja.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Perindustrian, Saleh Husin, dalam keterangan resminya Minggu (11/5/2025), mengungkapkan keprihatinannya. Ia mengingatkan pemerintah agar lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global yang telah memukul berbagai sektor industri di Indonesia. “Peraturan yang tidak disusun dengan cermat bisa berujung pada dampak negatif bagi industri, seperti yang kita saksikan pada sektor tekstil dan media,” tegas Saleh Husin. Ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya menghindari kebijakan yang justru menambah beban pelaku usaha di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
KADIN menilai PP 28/2024 seakan mengabaikan realita lapangan. Industri tembakau dan mamin, menurut Saleh Husin, sudah menghadapi berbagai tantangan, mulai dari fluktuasi harga bahan baku hingga persaingan yang ketat. Penerapan regulasi yang semakin ketat, bukannya membantu, justru akan memperparah kondisi tersebut. Lebih jauh lagi, KADIN memprediksi kebijakan ini akan memicu peningkatan pasar ilegal produk tembakau dan mamin.
“Rokok ilegal sudah mencapai 6,9% pada 2023, dan semakin ketatnya regulasi akan mempermudah berkembangnya pasar ilegal tersebut,” ungkap Saleh Husin. Ia menekankan bahwa kebijakan yang terlalu restriktif justru akan menciptakan celah bagi produk-produk ilegal untuk berkembang pesat, merugikan industri formal yang telah taat aturan dan membayar pajak. Hal ini akan berdampak pada penerimaan negara dan semakin memperburuk kondisi ekonomi nasional.
Selain dampak ekonomi, KADIN juga menyoroti proses penyusunan PP 28/2024 yang dinilai kurang transparan dan partisipatif. Saleh Husin mengungkapkan bahwa masukan dari kementerian pembina industri terkait, yang seharusnya menjadi pertimbangan utama, terkesan diabaikan. Proses pembuatan peraturan yang kurang melibatkan pelaku industri ini dinilai sebagai bentuk ketidakadilan dan kurangnya pemahaman pemerintah terhadap kondisi riil di lapangan.
“Kami melihat banyak pasal yang justru problematik dan bisa menghancurkan industri itu sendiri,” ujar Saleh Husin dengan nada kecewa. Ia menambahkan bahwa banyak pasal dalam PP tersebut yang tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan usaha dan dampaknya terhadap tenaga kerja. Ketidakjelasan dan ambiguitas dalam beberapa pasal juga dikhawatirkan akan menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda di lapangan, sehingga menimbulkan kebingungan dan kesulitan bagi pelaku usaha.
Kritik KADIN terhadap PP 28/2024 ini bukan sekadar protes semata. Ini merupakan refleksi dari kekhawatiran mendalam terhadap potensi dampak negatif regulasi tersebut terhadap perekonomian nasional. Industri padat karya, seperti tembakau dan mamin, menyerap jutaan tenaga kerja. Jika industri-industri ini terpuruk akibat regulasi yang tidak tepat, maka dampaknya akan terasa secara luas, mulai dari peningkatan angka pengangguran hingga penurunan pendapatan negara.
KADIN mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap PP 28/2024. Organisasi pengusaha ini meminta agar pemerintah membuka ruang dialog yang lebih luas dengan pelaku industri untuk membahas dan mencari solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Regulasi yang baik, menurut KADIN, seharusnya tidak hanya berfokus pada aspek kesehatan semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan keberlanjutan usaha. Pemerintah perlu menyeimbangkan antara tujuan kesehatan masyarakat dengan upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi dan melindungi lapangan kerja.
Ke depan, KADIN berharap pemerintah dapat lebih proaktif melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, dalam proses perumusan kebijakan. Partisipasi yang inklusif dan transparan akan menghasilkan regulasi yang lebih efektif dan berkeadilan, yang tidak hanya berorientasi pada target jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat. Kegagalan pemerintah untuk merespon kritik KADIN ini dapat berujung pada krisis ekonomi yang lebih besar dan mengancam stabilitas sosial. Oleh karena itu, dialog dan kolaborasi yang konstruktif antara pemerintah dan pelaku usaha menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan ini. Keberhasilan Indonesia dalam menghadapi tantangan ekonomi global sangat bergantung pada kebijakan yang bijak dan responsif terhadap kebutuhan riil di lapangan.