Tingkat Literasi dan Inklusi Keuangan Indonesia Masih Terbatas: Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Mikro Tertinggal

Jakarta, 2 Mei 2025 – Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dirilis bersama oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini mengungkap fakta yang mengkhawatirkan: tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia masih rendah, khususnya di sektor pasar modal dan lembaga keuangan mikro. Meskipun terdapat peningkatan di beberapa sektor, kesenjangan akses dan pemahaman terhadap produk dan layanan keuangan tetap menjadi tantangan besar bagi pengembangan ekonomi nasional.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, memaparkan hasil survei yang menunjukkan dominasi sektor perbankan dalam menopang indeks literasi dan inklusi keuangan nasional. Perbankan mencatatkan tingkat literasi sebesar 65,50% dan inklusi 70,65% di tahun 2025, menunjukan peningkatan tipis dibandingkan tahun 2024 (literasi 64,05%, inklusi 68,88%). Keberhasilan ini, menurut Frederica, tak lepas dari familiaritas masyarakat Indonesia dengan layanan perbankan dalam kehidupan sehari-hari. "Masyarakat kita kebanyakan sudah familiar dan menggunakan rekening bank," ujarnya dalam konferensi pers.

Namun, di balik dominasi perbankan, SNLIK 2025 juga mengungkap potret memprihatinkan di sektor lain. Sektor pasar modal, misalnya, hanya mencatatkan tingkat literasi sebesar 17,78% dan inklusi yang jauh lebih rendah, yakni 1,34%. Angka ini menunjukkan bahwa masih sangat sedikit masyarakat Indonesia yang memahami dan memanfaatkan produk dan layanan pasar modal, seperti saham, obligasi, dan reksa dana. Rendahnya inklusi ini menghambat akses masyarakat terhadap instrumen investasi yang potensial untuk meningkatkan kesejahteraan.

Kondisi serupa juga terlihat di sektor lembaga keuangan mikro (LKM). SNLIK 2025 mencatat tingkat literasi LKM hanya mencapai 9,80%, dengan tingkat inklusi yang bahkan lebih rendah lagi, yaitu 1,20%. Rendahnya angka ini menunjukkan keterbatasan akses masyarakat, khususnya di kalangan ekonomi lemah, terhadap layanan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Padahal, LKM memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat dan mengurangi kesenjangan ekonomi.

Hasil survei ini juga menunjukkan disparitas yang signifikan antara sektor-sektor LJK lainnya. Sektor pergadaian, misalnya, menunjukan tingkat literasi yang relatif lebih tinggi (54,74%) dibandingkan sektor lembaga pembiayaan (46,66%), perasuransian (45,45%), dan fintech lending (24,90%). Namun, tingkat inklusi di sektor-sektor tersebut masih relatif rendah, berkisar antara 4,40% hingga 28,50%, menunjukan masih banyak potensi yang belum tergali. Sektor dana pensiun juga menunjukkan angka literasi dan inklusi yang masih terbatas, dengan masing-masing 27,79% dan 5,37%.

Tingkat Literasi dan Inklusi Keuangan Indonesia Masih Terbatas: Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Mikro Tertinggal

Secara keseluruhan, data SNLIK 2025 menggarisbawahi perlunya strategi yang lebih komprehensif dan terintegrasi untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Pemerintah dan OJK perlu fokus pada beberapa hal penting, antara lain:

  • Peningkatan Edukasi Keuangan: Program edukasi keuangan perlu diperluas dan disesuaikan dengan karakteristik demografis dan sosioekonomi masyarakat. Materi edukasi harus mudah dipahami, menarik, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Pemanfaatan teknologi digital, seperti media sosial dan aplikasi mobile, dapat menjadi strategi efektif untuk menjangkau masyarakat luas.

  • Penguatan Infrastruktur Keuangan: Pengembangan infrastruktur keuangan yang memadai, khususnya di daerah terpencil dan pedesaan, sangat penting untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan. Hal ini meliputi perluasan jaringan agen perbankan, peningkatan literasi digital, dan pengembangan sistem pembayaran elektronik yang aman dan terjangkau.

  • Peningkatan Regulasi dan Pengawasan: Regulasi yang jelas, transparan, dan melindungi konsumen sangat penting untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan. Pengawasan yang ketat juga diperlukan untuk mencegah praktik-praktik yang merugikan konsumen.

  • Kolaborasi Antar Pemangku Kepentingan: Peningkatan literasi dan inklusi keuangan membutuhkan kolaborasi yang erat antara pemerintah, OJK, lembaga jasa keuangan, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Kerjasama ini dapat mencakup pengembangan program edukasi bersama, pengembangan produk dan layanan keuangan yang inovatif, dan penyebaran informasi keuangan yang akurat dan terpercaya.

  • Fokus pada Sektor Tertinggal: Upaya khusus perlu difokuskan pada sektor pasar modal dan LKM untuk meningkatkan literasi dan inklusi di sektor-sektor tersebut. Hal ini dapat mencakup pengembangan produk dan layanan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sektor tersebut, serta program edukasi yang tertarget dan efektif.

Rendahnya tingkat literasi dan inklusi keuangan tidak hanya menghambat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Akses yang terbatas terhadap layanan keuangan dapat menyebabkan masyarakat sulit mengakses kredit, investasi, dan asuransi, sehingga sulit untuk meningkatkan taraf hidup dan menghadapi risiko keuangan. Oleh karena itu, peningkatan literasi dan inklusi keuangan menjadi kunci penting dalam pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia. Hasil SNLIK 2025 menjadi alarm bagi semua pihak untuk segera mengambil langkah-langkah konkret dan terukur untuk mengatasi tantangan ini. Keberhasilan dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan akan menentukan masa depan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *