Bogor, 2 Mei 2025 – Di tengah hiruk-pikuk pembangunan perumahan modern di Permata Bogor Residence 2, dekat Stasiun Cilebut, Kabupaten Bogor, berdiri sebuah monumen sejarah yang menyimpan kisah kelam eksploitasi buruh pada masa kolonial Belanda: Tugu Lonceng Cilebut. Lebih dari sekadar tugu, lonceng ini merupakan saksi bisu sistem kerja paksa dan penindasan yang dialami para buruh perkebunan karet di era tersebut. Keberadaannya, yang nyaris terlupakan, kini kembali menjadi sorotan, mengingatkan kita pada kekejaman masa lalu dan pentingnya mengenang sejarah untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.
Menurut Johnny Pinot, seorang pegiat sejarah Bogor, kawasan Cilebut pada masa kolonial merupakan pusat perkebunan karet yang subur dan menguntungkan bagi para pemilik perkebunan, mayoritas keluarga kolonial Belanda. Tugu Lonceng Cilebut, yang terletak berdekatan dengan jalur kereta api yang dibangun oleh keluarga kolonial yang sama, menjadi elemen penting dalam sistem kerja paksa tersebut. Lonceng raksasa ini berfungsi sebagai alarm, menandai dimulainya dan berakhirnya jam kerja para buruh. Bunyi lonceng yang nyaring, yang dulu menggema di seluruh area perkebunan, mengingatkan pada ritme kerja yang tak kenal lelah dan tanpa belas kasihan.
Keberadaan Tugu Lonceng ini bukanlah fenomena terisolasi. Johnny Pinot menjelaskan bahwa hampir setiap perkebunan yang dikelola keluarga kolonial Belanda dilengkapi dengan infrastruktur serupa: rumah kongsi (landhuis) untuk tempat tinggal para pengawas dan buruh, dan tentu saja, tugu lonceng sebagai pengatur waktu kerja. Sistem ini menciptakan sebuah struktur hierarki yang kaku, dengan para pemilik perkebunan di puncak dan buruh di posisi paling bawah, terikat oleh sistem kerja yang eksploitatif. Buruh dipaksa bekerja selama berjam-jam tanpa kompensasi yang layak, dalam kondisi kerja yang keras dan berbahaya.
Kedekatan Tugu Lonceng dengan Stasiun Cilebut bukanlah kebetulan. Jalur kereta api yang menghubungkan Cilebut dengan Batavia (Jakarta) juga dibangun oleh keluarga kolonial Belanda yang sama, menunjukkan integrasi antara infrastruktur perkebunan dan sistem transportasi yang dirancang untuk mempermudah pengangkutan hasil perkebunan ke pusat perdagangan. Keberadaan sebuah masjid tua di sekitar jalur kereta, dengan prasasti peresmian tahun 1861, menunjukkan bahwa infrastruktur ini telah ada sejak lebih dari 164 tahun yang lalu, menyertai dan menyaksikan eksploitasi yang terjadi di perkebunan karet Cilebut. Masjid ini, meskipun dibangun dalam konteks kolonial, mungkin juga menjadi tempat peribadatan bagi para buruh yang mencari penghiburan di tengah penderitaan mereka.
Tugu Lonceng Cilebut, dengan demikian, bukanlah sekadar artefak sejarah. Ia merupakan simbol dari sistem ekonomi kolonial yang kejam dan eksploitatif. Lonceng tersebut menjadi pengingat akan penderitaan para buruh yang dipaksa bekerja keras demi keuntungan para pemilik perkebunan. Bunyi lonceng, yang kini hanya tinggal gema masa lalu, mencerminkan ritme kerja yang tak manusiawi, yang menghancurkan kehidupan dan martabat manusia.
Keberadaan Tugu Lonceng ini juga menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana kita mengingat dan menafsirkan sejarah. Apakah kita hanya melihatnya sebagai bagian dari masa lalu yang sudah berlalu, atau apakah kita dapat menggunakannya sebagai alat untuk memahami akar permasalahan ketidakadilan sosial yang masih terjadi hingga saat ini? Eksploitasi buruh, meskipun dalam bentuk yang berbeda, masih menjadi isu global yang perlu ditangani.
Penemuan kembali Tugu Lonceng Cilebut ini seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran publik tentang sejarah kolonial Indonesia dan dampaknya yang berkepanjangan. Pemerintah daerah dan instansi terkait perlu mengambil langkah-langkah untuk melestarikan situs bersejarah ini dan menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat edukasi bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Dengan demikian, Tugu Lonceng Cilebut tidak hanya menjadi monumen bisu, tetapi juga menjadi wahana pembelajaran tentang pentingnya keadilan sosial, penghormatan hak asasi manusia, dan perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bermartabat.
Lebih dari itu, cerita Tugu Lonceng Cilebut mengingatkan kita pada pentingnya menggali sejarah secara kritis dan menyeluruh. Kita perlu melampaui narasi-narasi yang menyederhanakan dan meminimalkan penderitaan yang dialami oleh para korban eksploitasi. Kita perlu mendengarkan suara-suara yang terpinggirkan dan memberikan tempat bagi mereka dalam narasi sejarah kita.
Dengan memahami sejarah yang kompleks dan penuh nuansa ini, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik, di mana keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia menjadi landasan utama pembangunan. Tugu Lonceng Cilebut, dengan demikian, bukan hanya sebuah monumen, tetapi juga sebuah panggilan untuk refleksi dan tindakan. Ia adalah sebuah peringatan agar kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan terus berjuang untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bermartabat bagi semua. Gema lonceng tersebut, meskipun telah redup, harus terus bergaung dalam kesadaran kita sebagai pengingat akan pentingnya menghargai martabat manusia dan melawan segala bentuk ketidakadilan.