Jakarta, 2 Mei 2025 – Indonesia bersiap menghadapi gelombang besar penduduk usia produktif, fenomena yang dikenal sebagai bonus demografi, pada tahun 2030. Namun, di balik potensi ekonomi yang menjanjikan, tantangan serius mengintai: ketersediaan lapangan kerja yang minim, bahkan di tengah gencarnya investasi asing. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi gejolak sosial jika jutaan angkatan kerja muda tak mampu terserap dengan baik.
Ketua Dewan Pengawas Indonesia Business Council (IBC), Arsjad Rasjid, dalam acara "Coffee Break with Arsjad" di Jakarta Selatan, menyoroti paradoks yang dihadapi Indonesia. Di satu sisi, negara ini diproyeksikan memiliki 156 juta penduduk usia produktif, dengan tambahan 2,5 juta lulusan baru setiap tahunnya. Di sisi lain, ketersediaan lapangan kerja di dalam negeri diprediksi tak akan mampu menampung jumlah tersebut.
"Pertanyaannya, cukupkah lapangan kerja di Indonesia untuk menampung bonus demografi ini? Jawabannya, tidak cukup," tegas Arsjad. Ia menjelaskan bahwa laju penciptaan lapangan kerja domestik justru mengalami penurunan akibat transformasi digital dan otomatisasi berbasis kecerdasan buatan (AI). Proses digitalisasi, yang memang meningkatkan efisiensi, sayangnya lebih bersifat capital intensive daripada labor intensive, artinya lebih membutuhkan modal daripada tenaga kerja.
Pemerintah, melalui berbagai kebijakan, berupaya menarik investasi besar-besaran untuk menciptakan lapangan kerja. Namun, menurut Arsjad, upaya ini mungkin tak cukup mengatasi permasalahan mendasar. "Sekuat apapun kita menarik investasi, jika investasi tersebut lebih berorientasi pada teknologi dan otomatisasi, maka penyerapan tenaga kerja tetap akan terbatas," jelasnya. Ia menekankan pentingnya memahami realitas ini dan mencari solusi alternatif.
Oleh karena itu, Arsjad mendorong pemerintah untuk mempersiapkan strategi jangka panjang yang meliputi perluasan akses lapangan kerja di luar negeri. Ia mencontohkan keberhasilan Filipina yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 2% berkat remitansi dari para warganya yang bekerja di luar negeri. "Remitansi dari diaspora Filipina sangat signifikan. Lebih jauh lagi, diaspora ini bisa menjadi saluran distribusi produk Indonesia dan membuka peluang bisnis lainnya," tambahnya.
Namun, mengembangkan potensi diaspora Indonesia bukanlah tanpa tantangan. Arsjad menyoroti kurangnya pemahaman pengusaha asing, khususnya di negara-negara seperti Arab Saudi, terhadap potensi ekonomi Indonesia di luar sektor domestik. "Pengusaha Arab Saudi, misalnya, kebanyakan hanya mengenal Indonesia dari dua hal: asisten rumah tangga (ART) dan jemaah haji dan umrah," ujarnya. Persepsi ini, menurut Arsjad, membatasi peluang kerja bagi warga Indonesia di sektor lain yang lebih terampil dan bernilai tambah.
Ia menekankan pentingnya kampanye promosi yang efektif untuk memperkenalkan beragam potensi ekonomi Indonesia kepada dunia internasional. Hal ini penting untuk menarik investasi yang lebih inklusif dan menciptakan lapangan kerja yang lebih beragam bagi warga Indonesia di luar negeri.
Selain itu, Arsjad juga menyoroti perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Ia mengkritik pola kerja diaspora Indonesia yang cenderung stagnan, misalnya terus bekerja sebagai ART tanpa adanya upaya peningkatan keterampilan. "Kita perlu memastikan para diaspora kita naik kelas. Setelah bekerja beberapa tahun sebagai ART, misalnya, mereka bisa kembali ke Indonesia untuk mengikuti pelatihan vokasi, lalu kembali ke luar negeri dengan keahlian yang lebih tinggi," jelasnya. Ia memberikan contoh skenario peningkatan karier, dari ART menjadi koki restoran, lalu berkembang menjadi koki senior di kapal pesiar.
Arsjad menekankan pentingnya program pelatihan dan sertifikasi yang terstruktur untuk membekali para pekerja migran Indonesia dengan keterampilan yang kompetitif di pasar kerja internasional. Hal ini akan meningkatkan daya saing mereka dan membuka peluang kerja yang lebih baik dan berpenghasilan lebih tinggi.
Kesimpulannya, bonus demografi Indonesia menyimpan potensi yang luar biasa, namun juga ancaman yang nyata jika tidak dikelola dengan strategi yang tepat dan komprehensif. Pemerintah perlu bergerak cepat dan terintegrasi, tidak hanya fokus pada investasi domestik, tetapi juga memperluas akses lapangan kerja di luar negeri, serta meningkatkan kualitas SDM melalui program pelatihan dan pengembangan keterampilan yang berkelanjutan. Kegagalan dalam mengantisipasi dan mengatasi tantangan ini dapat berujung pada peningkatan angka pengangguran, kemiskinan, dan potensi gejolak sosial yang mengancam stabilitas nasional. Indonesia perlu bertransformasi menjadi negara yang mampu memanfaatkan bonus demografi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, bukan sebagai bom waktu yang mengancam masa depan bangsa.