Krisis PHK di Industri Padat Karya: Desakan Sederhanakan Regulasi dan Dorong Revitalisasi Teknologi

Jakarta, 1 Mei 2025 – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda sektor industri padat karya Indonesia telah menyulut keprihatinan mendalam. Kondisi ini mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret, khususnya dalam merumuskan regulasi yang lebih simpatis dan mendukung keberlangsungan jutaan pekerja di sektor vital ini. Industri padat karya, seperti tekstil dan garmen, alas kaki, furnitur, dan hasil tembakau, selama ini menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja nasional. Data menunjukkan industri tekstil dan garmen menyerap sekitar 3 juta pekerja, alas kaki 1 juta pekerja, furnitur 500 ribu pekerja, dan sektor hasil tembakau bahkan melibatkan 6 juta pekerja. Jumlah ini menggambarkan betapa krusialnya peran sektor ini dalam perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Menyadari urgensi masalah ini, Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan para menteri bidang ekonomi dan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) untuk memprioritaskan penguatan industri padat karya. Langkah strategis yang direncanakan meliputi penyertaan sektor ini ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) guna meningkatkan daya saing di kancah global. DEN juga menekankan pentingnya menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui penyederhanaan regulasi dan birokrasi, sekaligus mendorong peningkatan efisiensi dan daya saing industri padat karya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta W. Kamdani, menyambut positif inisiatif pemerintah tersebut. Dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (1/5/2025), Shinta menegaskan perlunya perhatian ekstra terhadap sektor padat karya mengingat perannya yang vital dalam menciptakan lapangan kerja formal dalam jumlah besar, sekaligus menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.

"Industri padat karya saat ini menghadapi tekanan berat dan kesulitan bersaing akibat kompleksitas regulasi dan beban usaha yang tinggi," ujar Shinta. "Oleh karena itu, deregulasi dan penyederhanaan birokrasi, dibarengi dengan fasilitas untuk revitalisasi teknologi industri, sangatlah krusial agar sektor ini dapat bertahan dan terus berkembang," tegasnya. Shinta juga menekankan pentingnya konsultasi berkelanjutan antara pemerintah dan pelaku usaha dalam setiap proses perubahan kebijakan, untuk memastikan implementasi deregulasi berjalan efektif dan tepat sasaran.

Di sisi lain, Ahmad Heri Firdaus, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menyatakan bahwa meskipun tujuan pemerintah untuk mendukung sektor padat karya patut diapresiasi, kebijakan yang diterapkan haruslah efektif dan berdampak nyata. Ia menyoroti pentingnya realokasi anggaran dari sektor yang kurang produktif ke sektor yang lebih produktif, sehingga dampak positifnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat luas.

Krisis PHK di Industri Padat Karya: Desakan Sederhanakan Regulasi dan Dorong Revitalisasi Teknologi

Sebagai upaya mengatasi peningkatan angka pengangguran, pemerintah telah meluncurkan delapan kebijakan pendorong ekonomi pada kuartal pertama tahun 2025. Salah satu fokus utama kebijakan tersebut adalah penguatan industri padat karya. Beberapa langkah konkret yang telah diambil antara lain peningkatan kesejahteraan pekerja melalui pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (DTP) untuk pekerja di sektor padat karya hingga akhir tahun 2025.

Selain insentif pajak, pemerintah juga mengoptimalkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja yang terkena PHK. Langkah lain yang diambil adalah memberikan diskon 50% atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) untuk sektor industri padat karya. Namun, sejumlah kalangan menilai bahwa langkah-langkah tersebut masih belum cukup untuk mengatasi akar permasalahan yang mendasar. Kompleksitas regulasi, birokrasi yang berbelit, dan rendahnya daya saing di pasar global masih menjadi tantangan utama yang harus diatasi.

Ancaman PHK massal di sektor padat karya tidak hanya berdampak pada individu pekerja, tetapi juga berpotensi memicu dampak domino yang lebih luas terhadap perekonomian nasional. Penurunan daya beli masyarakat, peningkatan angka kemiskinan, dan ketidakstabilan sosial merupakan beberapa risiko yang perlu diwaspadai. Oleh karena itu, upaya pemerintah untuk menyelamatkan industri padat karya bukan hanya sekadar kebijakan ekonomi semata, tetapi juga merupakan tanggung jawab moral untuk melindungi kesejahteraan rakyat.

Ke depan, perlu adanya sinergi yang lebih kuat antara pemerintah, asosiasi pengusaha, dan para akademisi untuk merumuskan solusi komprehensif dan berkelanjutan. Penyederhanaan regulasi, peningkatan akses permodalan, dan dukungan untuk inovasi teknologi menjadi kunci utama dalam meningkatkan daya saing industri padat karya. Selain itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan pendidikan vokasi juga sangat penting untuk memastikan agar pekerja Indonesia mampu bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk memberikan insentif yang lebih besar dan terarah kepada industri padat karya, termasuk kemudahan akses perizinan, pengurangan beban pajak, dan fasilitas infrastruktur yang memadai. Transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan juga menjadi faktor kunci untuk memastikan bahwa bantuan yang diberikan benar-benar sampai kepada para pekerja dan pelaku usaha yang membutuhkan.

Singkatnya, krisis PHK di industri padat karya menuntut respons cepat dan terukur dari pemerintah. Bukan hanya sekedar memberikan bantuan sementara, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, dengan menempatkan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas utama. Kegagalan dalam mengatasi permasalahan ini akan berdampak serius terhadap stabilitas sosial dan ekonomi Indonesia di masa mendatang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *