Jakarta, 1 Mei 2025 – Indonesia berpotensi menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih besar akibat dampak perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Hal ini disampaikan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer, atau yang akrab disapa Noel, dalam keterangan persnya di Universitas Pertamina, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Pernyataan ini menambah kekhawatiran di tengah angka PHK yang telah mencapai angka signifikan di tahun ini.
Noel mengungkapkan data yang cukup mengkhawatirkan. Sepanjang tahun 2025, sebelum eskalasi perang tarif AS-China mencapai titik kritis, Indonesia telah mencatat angka PHK yang mencapai 7,48 juta pekerja. Angka ini merupakan gambaran nyata dari kondisi perekonomian domestik yang tengah menghadapi berbagai tantangan, jauh sebelum dampak penuh perang dagang global terasa.
"Kalau tidak salah, angka PHK hingga saat ini mencapai 7,48 juta pekerja. Ini data sebelum perang tarif AS-China semakin intensif," jelas Noel, sembari menekankan perlunya kehati-hatian dalam menginterpretasi data tersebut. Meskipun ia tidak merinci sektor-sektor yang paling terdampak, angka tersebut mengindikasikan adanya permasalahan struktural yang perlu segera ditangani oleh pemerintah.
Pernyataan Wamenaker ini menyiratkan potensi peningkatan angka PHK yang signifikan di masa mendatang. Eskalasi perang tarif antara AS dan Tiongkok, dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, berpotensi mengganggu rantai pasok global dan berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia, yang memiliki ketergantungan signifikan terhadap kedua negara tersebut, baik sebagai pasar ekspor maupun sumber impor bahan baku dan barang jadi.
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan sektor manufaktur yang cukup besar, rentan terhadap dampak negatif perang tarif. Banyak perusahaan di Indonesia yang bergantung pada ekspor ke AS dan impor bahan baku dari Tiongkok. Kenaikan tarif bea masuk akan meningkatkan biaya produksi, mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional, dan berpotensi memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi, termasuk melalui PHK.
Lebih lanjut, Noel juga menyoroti isu lain yang turut memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Indonesia: praktik penahanan ijazah oleh perusahaan. Ia menegaskan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) saat ini tengah fokus menindak tegas perusahaan-perusahaan yang melakukan praktik ilegal tersebut.
"Kementerian Ketenagakerjaan saat ini tengah fokus pada penanganan kasus penahanan ijazah oleh perusahaan. Kami akan mengambil tindakan hukum, termasuk upaya pidana, terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran ini," tegas Noel. Ia menekankan komitmen Kemnaker untuk melindungi hak-hak pekerja dan menciptakan iklim kerja yang adil dan bermartabat.
Namun, fokus pada penahanan ijazah tidak mengurangi keprihatinan Kemnaker terhadap potensi gelombang PHK yang lebih besar akibat perang tarif AS-China. Meskipun Noel tidak memberikan proyeksi angka PHK yang lebih spesifik terkait dampak perang tarif, pernyataannya secara implisit menunjukkan kekhawatiran akan potensi peningkatan angka pengangguran yang signifikan.
Situasi ini menuntut pemerintah untuk mengambil langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk meminimalisir dampak negatif perang tarif terhadap perekonomian dan ketenagakerjaan Indonesia. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan antara lain:
-
Diversifikasi pasar ekspor: Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan Tiongkok dengan mencari pasar ekspor alternatif di negara-negara lain. Hal ini memerlukan strategi promosi ekspor yang agresif dan peningkatan kualitas produk.
-
Penguatan sektor UMKM: Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam menyerap tenaga kerja. Pemerintah perlu memberikan dukungan yang lebih besar kepada UMKM melalui akses permodalan, pelatihan, dan pemasaran.
-
Peningkatan daya saing industri: Pemerintah perlu mendorong peningkatan daya saing industri dalam negeri melalui inovasi teknologi, peningkatan efisiensi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
-
Program pelatihan dan penempatan kerja: Pemerintah perlu memperkuat program pelatihan vokasi dan penempatan kerja untuk membantu pekerja yang terkena PHK mendapatkan pekerjaan baru.
-
Jaring pengaman sosial: Pemerintah perlu memperkuat jaring pengaman sosial untuk melindungi pekerja yang terkena PHK, misalnya melalui program bantuan sosial dan asuransi pengangguran.
Perang tarif AS-China bukan hanya sekadar masalah perdagangan, tetapi juga berdampak luas pada stabilitas ekonomi dan sosial. Angka PHK yang telah mencapai 7,48 juta pekerja merupakan alarm yang harus segera direspon oleh pemerintah dengan kebijakan yang terukur, tepat sasaran, dan berkelanjutan. Kegagalan dalam mengantisipasi dan menangani dampak perang tarif ini berpotensi memicu krisis sosial dan ekonomi yang lebih besar di Indonesia. Oleh karena itu, koordinasi yang solid antar kementerian dan lembaga terkait, serta keterlibatan aktif sektor swasta, menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini. Transparansi data dan informasi juga krusial agar masyarakat dapat memahami situasi dan bersama-sama mencari solusi. Langkah cepat dan tepat sangat dibutuhkan untuk meredam potensi gelombang PHK yang lebih besar dan menjaga stabilitas perekonomian nasional.