Jakarta, 30 April 2025 – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, dalam sebuah wawancara eksklusif pada acara detikcom Indonesia Investment Talk Series di Jakarta, menggambarkan realita iklim investasi di Indonesia dengan istilah yang cukup unik: “ngeri-ngeri sedap”. Ungkapan ini, yang menggambarkan perpaduan antara tantangan dan peluang yang signifikan, mencerminkan dilema yang dihadapi para investor yang melirik pasar Indonesia.
Shinta Kamdani menjelaskan, persepsi negatif mengenai kompleksitas birokrasi dan regulasi di Indonesia kerap menjadi penghalang awal bagi investor asing maupun domestik. Bayangan panjang proses perizinan, ketidakpastian hukum, dan potensi hambatan operasional kerap menimbulkan rasa “ngeri” sebelum memutuskan untuk menanamkan modal. "Image yang terbangun di benak investor adalah Indonesia sebagai negara yang sulit untuk berinvestasi," ujarnya. "Regulasi yang berlapis-lapis, proses perizinan yang berlarut-larut, dan kekhawatiran akan kurangnya kepastian hukum menciptakan rasa was-was dan keraguan sebelum memulai investasi."
Namun, di balik rasa “ngeri” tersebut, terdapat daya tarik yang luar biasa yang mampu mengalahkan keraguan. Shinta Kamdani menekankan bahwa banyak investor yang telah berhasil dan meraih keuntungan signifikan di Indonesia, bahkan beroperasi dalam jangka waktu yang panjang. Keberhasilan inilah yang menghadirkan sisi “sedap” dari investasi di Indonesia. "Buktinya, banyak investor yang sukses di Indonesia dengan return of investment yang sangat besar dan telah beroperasi selama bertahun-tahun," jelasnya. "Keberhasilan inilah yang akhirnya menunjukkan sisi menguntungkan dari investasi di Indonesia, setelah melewati fase awal yang penuh tantangan."
Pernyataan Shinta Kamdani ini menggarisbawahi pentingnya manajemen persepsi dalam menarik investasi asing. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan potensi ekonomi yang besar, harus bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand yang juga menawarkan daya tarik investasi. Oleh karena itu, membangun citra positif dan mengatasi persepsi negatif mengenai iklim investasi menjadi krusial.
"Persaingan investasi sangat ketat," tegas Shinta. "Investor tidak hanya melihat Indonesia, tetapi juga membandingkan dengan negara lain. Vietnam, Thailand, dan negara-negara lain di kawasan ini juga menawarkan berbagai insentif dan kemudahan investasi. Kita harus mampu bersaing, tidak hanya dalam hal potensi pasar, tetapi juga dalam hal kemudahan berbisnis."
Salah satu kendala utama yang dihadapi investor di Indonesia adalah proses perizinan usaha yang rumit dan memakan waktu. Shinta Kamdani mengungkapkan bahwa proses perizinan awal saja bisa memakan waktu hingga 65 hari. Belum lagi berbagai izin lain yang dibutuhkan untuk operasional bisnis, yang secara keseluruhan dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan. Lambannya proses perizinan ini jelas menjadi hambatan signifikan bagi investor yang menginginkan kepastian dan efisiensi dalam menjalankan bisnis.
"Waktu 65 hari hanya untuk perizinan awal perusahaan," kata Shinta. "Belum lagi izin-izin operasional lainnya yang membutuhkan waktu berbulan-bulan. Ini menjadi beban dan tantangan bagi investor."
Oleh karena itu, Shinta Kamdani menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini. Pemerintah perlu melakukan reformasi birokrasi yang lebih efektif dan efisien, menyederhanakan regulasi yang berbelit, dan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat bagi investor. Hal ini akan membantu menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan menarik bagi investor baik domestik maupun asing.
Keberhasilan Indonesia dalam menarik investasi asing tidak hanya bergantung pada potensi pasar yang besar, tetapi juga pada kemampuan pemerintah dalam menciptakan lingkungan bisnis yang ramah dan transparan. Proses perizinan yang cepat dan mudah, regulasi yang jelas dan konsisten, serta penegakan hukum yang efektif merupakan faktor kunci untuk meningkatkan kepercayaan investor dan menarik investasi yang lebih besar.
Kesimpulannya, pernyataan Shinta Kamdani mengenai investasi di Indonesia sebagai "ngeri-ngeri sedap" menggambarkan realita yang kompleks. Di satu sisi, potensi keuntungan yang besar dan pasar yang luas menjadi daya tarik utama. Namun, di sisi lain, kompleksitas birokrasi dan regulasi menjadi hambatan yang perlu diatasi. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi kendala ini, sehingga Indonesia dapat benar-benar menjadi tujuan investasi yang menarik dan kompetitif di kancah global. Hanya dengan demikian, "rasa ngeri" dapat diminimalisir, dan "rasa sedap" investasi di Indonesia dapat dinikmati secara maksimal oleh semua pihak. Tantangan ke depan terletak pada bagaimana pemerintah mampu mengubah persepsi negatif menjadi positif, dan mengubah "ngeri" menjadi "sedap" secara menyeluruh. Keberhasilan ini akan menentukan daya saing Indonesia di tengah persaingan global yang semakin ketat.