Jakarta, 23 April 2025 – Di tengah hiruk-pikuk ibukota, sebuah bisnis rumahan kecil namun bermakna besar berkembang di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Keluarga Hayati dan Safitri, dengan produksi tauco Betawi hanya satu hingga dua ember per hari, telah membuktikan bahwa kesuksesan tak selalu diukur dari skala produksi yang masif, melainkan dari konsistensi, kualitas, dan kepercayaan yang terbangun. Lebih dari sekadar penghasilan harian, usaha tauco mereka telah membuka jalan menuju kesejahteraan ekonomi keluarga dan menjadi contoh nyata bagaimana usaha mikro dapat berdampak signifikan.
Kisah sukses ini bermula dari tangan-tangan terampil Hayati, mertua Safitri, yang telah menggeluti bisnis tauco rumahan sejak tahun 1985. Usia Hayati yang kini menginjak 63 tahun tak menyurutkan semangatnya dalam mempertahankan resep dan metode tradisional pembuatan tauco Betawi. Di rumah sederhana mereka di Jalan Persatuan Amal Mulia, proses pembuatan tauco masih dilakukan secara manual, sebuah komitmen yang menjadi kunci keberhasilan mereka dalam mempertahankan cita rasa khas dan kualitas produk.
Setiap hari, proses pembuatan dimulai dengan merebus 13 kilogram kacang kedelai yang dicampur garam dan sereh. Proses perebusan yang memakan waktu seharian dilanjutkan dengan fermentasi selama satu hari lagi, menghasilkan adonan kecoklatan yang khas. Safitri, menantu Hayati yang turut aktif dalam bisnis ini, menjelaskan, "Bikin gini prosesnya minimal dua hari. Ngerebus sehari, seharinya lagi buat fermentasi." Hasilnya, satu ember adonan tauco yang kemudian dikemas menjadi sekitar 400 bungkus plastik, bahkan lebih.
Tauco Betawi buatan keluarga ini memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya lebih asin dibandingkan dengan jenis tauco lain, dengan sedikit atau tanpa rasa asam, karena mereka menghindari penggunaan pengawet selain garam. Meskipun tanpa pengawet, tauco ini mampu bertahan hingga dua bulan di dalam kulkas, dan sekitar satu hingga dua minggu di luar kulkas sebelum rasa asam mulai muncul akibat perubahan kadar garam.
Meski permintaan cukup tinggi dengan 30 pelanggan tetap di sekitar Kebayoran Lama, bahkan hingga Srengseng di Jakarta Barat, keluarga ini tetap mempertahankan skala produksi yang kecil. Mereka sengaja membatasi produksi hanya satu atau dua ember per hari karena seluruh proses, mulai dari pencucian kacang, perebusan, hingga pengemasan, dilakukan secara manual oleh keluarga. Suami Safitri, misalnya, menolak penggunaan mesin press untuk mengikat bungkusan tauco, karena menurutnya hal itu akan menghilangkan ciri khas manual yang menjadi daya tarik produk mereka. "Harus pakai karet. Kalau diganti pakai mesin press, nanti hilang ciri khas manualnya. Terus kalau ikat karetnya kurang benar, nanti itu plastiknya bisa bocor," jelas Safitri.
Komitmen untuk mempertahankan tradisi manual ini bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan bagian integral dari strategi mereka dalam menjaga kualitas dan keunikan tauco Betawi buatan mereka. Keaslian rasa dan proses pembuatan yang tradisional menjadi daya tarik utama bagi pelanggan setia mereka.
Meskipun bisnisnya berskala kecil, dampaknya sangat signifikan bagi kehidupan keluarga besar Hayati. Kelima anaknya telah sukses membangun keluarga masing-masing, memiliki rumah sendiri, dan hidup berkecukupan. Keberhasilan ini tak lepas dari kerja keras dan dedikasi Hayati yang telah bertahun-tahun mengelola bisnis tauco ini. "Tahun 1985 udah dagang tauco, udah 40 tahun!" ujarnya dengan bangga.
Di usia senjanya, Hayati masih aktif terlibat dalam proses pembuatan tauco, meski sebagian tugas pengemasan telah dilimpahkan kepada anak dan menantunya. Suryani, anak sulung Hayati, misalnya, dengan cekatan membantu membungkus tauco yang masih panas. "Kalau proses lainnya kayak cuci kacang, merebus, itu masih agak gampang. Bungkusnya ini yang capek karena banyak," katanya sambil tersenyum.
Hayati dikenal sebagai sosok yang dermawan dan menghargai kontribusi setiap anggota keluarga yang membantu usahanya. Ia memberikan upah kepada anak dan menantunya yang turut membantu produksi, sebuah tindakan yang mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan dan penghargaan atas kerja keras.
Namun, kisah sukses keluarga ini tak hanya berhenti pada keberhasilan usaha tauco mereka. Konsistensi dan reputasi baik yang mereka bangun selama bertahun-tahun juga telah menarik perhatian lembaga perbankan. Safitri, sebagai nasabah BRI, telah beberapa kali memperoleh pinjaman untuk berbagai keperluan, termasuk pengembangan usaha dan renovasi rumah. Pada tahun 2019, ia memperoleh pinjaman KUR sebesar Rp 35 juta, dan dua tahun kemudian, ia mengajukan top up pinjaman Kupedes sebesar Rp 120 juta untuk renovasi rumah.
Keberhasilan Safitri dalam memperoleh pinjaman juga menginspirasi anggota keluarga lainnya untuk menjadi nasabah BRI. Mereka membentuk sebuah klaster yang diberi nama "Klaster Tauco," yang terdiri dari keluarga besar Hayati dan beberapa kerabat yang juga terlibat dalam bisnis tauco. Hal ini menunjukkan bagaimana usaha kecil dapat menjadi katalisator bagi peningkatan ekonomi keluarga dan komunitas sekitar.
Kepercayaan yang diberikan oleh BRI kepada keluarga ini menjadi bukti nyata bahwa usaha mikro, meskipun kecil, dapat memiliki dampak besar jika dikelola dengan baik dan konsisten. Eko Sulistyo, Kepala BRI Unit Rawa Belong, menjelaskan bahwa Klaster Tauco merupakan salah satu klaster unggulan di wilayahnya, yang menunjukkan potensi besar dari program Klusterku Hidupku BRI dalam memberdayakan usaha mikro.
Kisah keluarga Hayati dan Safitri menjadi inspirasi bagi para pelaku usaha mikro lainnya. Mereka membuktikan bahwa kesuksesan dapat diraih melalui kerja keras, konsistensi, dan mempertahankan kualitas produk. Lebih dari itu, mereka menunjukkan bagaimana nilai-nilai kekeluargaan dan kepercayaan dapat menjadi kunci keberhasilan dalam membangun bisnis yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi kehidupan keluarga dan masyarakat sekitar. Mereka adalah bukti nyata bahwa "matematika Tuhan," seperti yang diungkapkan Safitri, terkadang bekerja di luar nalar manusia, memberikan berkah yang tak terduga bagi mereka yang tekun dan berdedikasi.