Jakarta, 29 April 2025 – Menjelang peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day pada tanggal 1 Mei, gelombang protes dari kalangan buruh kembali menggema. Bukan semata-mata tuntutan kenaikan upah atau perbaikan kesejahteraan, namun keluhan yang lebih mendasar dan mengkhawatirkan: badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tak kunjung reda dan minimnya lapangan kerja baru. Bayang-bayang PHK massal, yang telah menghantui industri Indonesia sejak pandemi COVID-19, kini kembali terasa mencekam, khususnya di awal tahun 2025.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, mengungkapkan keprihatinannya atas situasi tersebut. Dalam wawancara dengan detikcom, Selasa (29/4/2025), ia menegaskan bahwa PHK massal bukanlah fenomena baru. "PHK massal terjadi sejak 2020, dan di Januari hingga sekarang pun masih banyak terjadi, salah satunya di PT Sritex dan beberapa perusahaan lainnya," ujarnya. Kasus PT Sritex, yang melakukan pemangkasan karyawan secara besar-besaran, menjadi contoh nyata betapa rapuhnya kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.
Situasi ini, menurut Mirah, bukan hanya sekadar masalah ekonomi mikro perusahaan, melainkan krisis sistemik yang membutuhkan intervensi pemerintah secara serius dan komprehensif. Minimnya lapangan kerja baru semakin memperparah keadaan. "Pemerintah harus segera menghentikan potensi PHK yang terus terjadi dan juga membuka lapangan kerja secara besar-besaran," tegasnya. Ia menekankan kesulitan yang dialami para pencari kerja, khususnya para lulusan yang menghadapi persaingan ketat dalam pasar kerja yang terbatas. "Calon-calon tenaga kerja ini kesulitan juga mencari pekerjaan saat ini karena minimnya lapangan kerja," tambahnya.
Ancaman PHK massal juga diperparah oleh pergeseran industri menuju otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI). Transformasi digital yang pesat, meskipun membawa kemajuan, menciptakan potensi pengangguran struktural yang signifikan. Mirah memperingatkan perlunya antisipasi dan strategi yang tepat agar dampak negatifnya terhadap pekerja Indonesia dapat diminimalisir. "Kalau tidak hati-hati dalam mengambil strategi, akan banyak sekali buruh yang kena PHK. Kemampuan rata-rata lulusan tenaga kerja kita masih banyak yang hanya tamatan SD dan SMP, maka kita harus mencari solusi agar buruh tidak kena PHK. Kami mengusulkan program upskilling dan reskilling," jelasnya.
Program upskilling dan reskilling, menurut Mirah, menjadi krusial untuk meningkatkan kompetensi pekerja agar mereka mampu beradaptasi dengan tuntutan industri yang terus berubah. Hal ini membutuhkan investasi besar dari pemerintah, baik dalam bentuk pelatihan vokasi maupun program peningkatan keterampilan yang terintegrasi dengan kebutuhan industri.
Sentimen serupa juga diungkapkan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI), Said Iqbal. Ia sebelumnya telah mendorong pemerintah untuk membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgas) PHK guna mengantisipasi dan menangani dampak buruk PHK massal. Usulan tersebut, menurut informasi yang beredar, telah disampaikan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto dan mendapatkan respons positif berupa komitmen pemerintah untuk membentuk Satgas tersebut.
Pembentukan Satgas PHK diharapkan dapat menjadi langkah strategis pemerintah dalam mengatasi krisis ketenagakerjaan. Satgas ini diharapkan tidak hanya berperan sebagai lembaga reaksi terhadap PHK yang telah terjadi, tetapi juga sebagai lembaga proaktif yang mampu melakukan pencegahan dan mitigasi risiko PHK di masa mendatang. Tugasnya meliputi monitoring lapangan, mediasi antara pekerja dan pengusaha, serta pengembangan program-program penciptaan lapangan kerja baru yang relevan dengan kebutuhan industri.
Keberhasilan Satgas PHK sangat bergantung pada komitmen dan koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait. Kerja sama yang erat antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja menjadi kunci untuk menemukan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Hal ini termasuk penyusunan regulasi yang melindungi hak-hak pekerja, peningkatan pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan terhadap peraturan ketenagakerjaan, serta pengembangan ekosistem bisnis yang mampu menciptakan lapangan kerja yang layak dan berkelanjutan.
Di tengah ancaman PHK massal dan minimnya lapangan kerja, peringatan May Day tahun ini menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam melindungi hak-hak pekerja dan menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Tuntutan buruh untuk membentuk Satgas PHK dan menciptakan lapangan kerja baru bukanlah sekadar tuntutan sektoral, melainkan refleksi dari kebutuhan mendesak untuk membangun sistem ketenagakerjaan yang lebih adil, berkelanjutan, dan mampu menghadapi tantangan globalisasi dan revolusi industri 4.0. Kegagalan pemerintah dalam merespons tuntutan ini akan berdampak serius, tidak hanya pada stabilitas sosial dan ekonomi, tetapi juga pada masa depan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, perhatian serius dan tindakan nyata dari pemerintah sangatlah dibutuhkan untuk mengatasi badai PHK yang mengancam kesejahteraan para pekerja Indonesia.