Jakarta – Janji Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan ekonomi hijau melalui transisi energi menemui tantangan implementasi di lapangan. Meskipun komitmen tersebut ditegaskan secara publik, pertanyaan mengenai seberapa besar perhatian pemerintahan Prabowo terhadap isu-isu Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) masih menjadi sorotan. Penunjukan Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Iklim, dimaksudkan sebagai sinyal keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim global. Namun, langkah konkret yang menunjukkan integrasi prinsip ESG dalam kebijakan pembangunan masih belum terlihat secara signifikan.
Hashim Djojohadikusumo, dalam pidato pembukaan Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) di Baku, Azerbaijan, 11 November 2024, mengungkapkan rencana ambisius pembangunan 100 GW pembangkit listrik baru dalam 15 tahun mendatang. Yang patut diapresiasi, 75 GW atau 75% dari kapasitas tersebut akan bersumber dari energi terbarukan, terdiri dari tenaga angin (35 GW) dan sisanya dari tenaga surya, air, panas bumi, dan nuklir. Rencana ini, menurut Hashim, merupakan "komitmen-komitmen dari pemerintahan yang baru."
Selain itu, pemerintah juga mencanangkan program Carbon Capture Storage (CCS) atau penangkapan dan penyimpanan karbon. Hashim menyebutkan beberapa perusahaan multinasional seperti Exxon Mobil dan British Petroleum telah menyatakan minat untuk berinvestasi dalam program CCS di Indonesia, yang dinilai memiliki potensi penyimpanan karbon yang besar, baik di darat maupun di laut. Teknologi CCS dianggap krusial untuk mengurangi emisi karbon dan mendukung mitigasi perubahan iklim dengan menangkap CO2 dari sumber-sumber emisi dan menyimpannya di bawah tanah atau laut.
Namun, janji-janji besar tersebut dihadapkan pada realita yang berbeda. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan menilai kinerja pemerintah dalam transisi energi masih jauh dari memuaskan. Koalisi ini merekomendasikan beberapa langkah percepatan, salah satunya adalah menjadikan analisis ESG sebagai syarat wajib perizinan investasi. Mereka berpendapat bahwa meskipun pemerintah menyerukan perhatian terhadap ESG, implementasi riilnya masih sangat minim, baik dalam bentuk regulasi, sosialisasi, maupun pelatihan.
Perhatian global yang semakin meningkat terhadap perubahan iklim telah mendorong transformasi investasi ke arah keberlanjutan, dengan analisis ESG sebagai standar utama bagi investor internasional untuk memastikan proyek-proyek yang berkelanjutan dan berdampak minimal terhadap lingkungan. Koalisi tersebut menekankan perlunya integrasi ESG sebagai persyaratan perizinan investasi sejak awal pemerintahan Prabowo. Hal ini dianggap krusial untuk mendukung Asta Cita ke-5 dan Program Prioritas ke-15, serta memastikan hilirisasi dan industrialisasi berjalan selaras dengan inklusi sosial dan perlindungan lingkungan.
Ketiadaan langkah konkret pemerintah dalam merealisasikan integrasi ESG menimbulkan kekhawatiran. Fokus pemerintah yang tampak lebih tertuju pada target pertumbuhan ekonomi 8% tanpa komitmen kuat terhadap ESG menunjukkan kurangnya sense of urgency dalam menerapkan safeguard investasi berkelanjutan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan pemerintah dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Keberhasilan transisi energi dan pencapaian target pengurangan emisi karbon sangat bergantung pada implementasi kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi. Integrasi ESG bukan hanya sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk regulasi yang jelas, mekanisme pengawasan yang efektif, dan insentif yang memadai bagi pelaku usaha untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Kurangnya transparansi dan keterbukaan informasi mengenai implementasi ESG juga menjadi kendala. Pemerintah perlu secara proaktif menyampaikan informasi mengenai langkah-langkah konkret yang telah dan akan diambil untuk mengintegrasikan prinsip ESG dalam berbagai kebijakan pembangunan. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan publik dan menarik investasi yang bertanggung jawab.
Selain itu, pemerintah perlu melibatkan secara aktif berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan transisi energi. Partisipasi aktif masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta berkeadilan bagi semua pihak.
Kesimpulannya, komitmen Presiden Prabowo Subianto terhadap transisi energi dan ekonomi hijau perlu diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata dan terukur. Penunjukan Utusan Khusus Presiden dan rencana pembangunan pembangkit energi terbarukan merupakan langkah awal yang positif, namun masih jauh dari cukup. Integrasi prinsip ESG secara menyeluruh dalam kebijakan pembangunan merupakan kunci keberhasilan dalam mencapai target pengurangan emisi karbon dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan adil. Ketiadaan langkah konkret dan kurangnya sense of urgency dalam implementasi ESG menimbulkan keraguan terhadap keseriusan komitmen pemerintah dalam jangka panjang. Transparansi, partisipasi publik, dan regulasi yang kuat menjadi elemen penting untuk memastikan keberhasilan transisi energi di Indonesia.