Jakarta, 27 April 2025 – Raksasa perlengkapan olahraga global, Nike, tengah menghadapi gugatan hukum senilai lebih dari US$ 5 juta (sekitar Rp75 miliar, kurs Rp15.000/US$) di pengadilan federal Brooklyn, New York. Gugatan tersebut diajukan oleh sekelompok pembeli Non-Fungible Token (NFT) yang terkait dengan RTFKT, anak perusahaan Nike yang bergerak di bidang teknologi dan NFT, yang ditutup secara mendadak pada Desember 2024. Para penggugat menuduh Nike melakukan pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen di sejumlah negara bagian AS, termasuk New York, California, Florida, dan Oregon, atas kerugian finansial yang mereka alami akibat penutupan tersebut.
Gugatan yang diajukan pada Jumat (25/4) lalu ini dipimpin oleh Jagdeep Cheema, warga negara Australia. Dalam gugatan tersebut, Cheema dan para penggugat lainnya menyatakan bahwa penutupan mendadak RTFKT telah menyebabkan penurunan drastis nilai NFT yang mereka miliki, mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan. Cheema secara tegas menyatakan ketidaktahuannya mengenai status hukum NFT yang dibelinya, yang menurutnya baru disadari setelah penutupan RTFKT. "Saya tidak akan pernah membeli NFT jika tahu bahwa token tersebut adalah sekuritas yang tidak terdaftar," tegas Cheema, seperti dikutip dari Reuters.
Pernyataan Cheema ini menyoroti salah satu poin krusial dalam gugatan ini: status hukum NFT di Amerika Serikat. Hingga saat ini, status hukum NFT masih menjadi perdebatan hukum yang kompleks. Banyak kasus hukum yang sedang berjalan untuk menentukan apakah NFT dapat dikategorikan sebagai sekuritas di bawah hukum federal AS. Klasifikasi ini sangat penting karena sekuritas yang tidak terdaftar dapat mengakibatkan sanksi hukum yang berat bagi perusahaan yang menerbitkannya. Gugatan ini, dengan demikian, tidak hanya menuntut ganti rugi finansial, tetapi juga berpotensi membuka preseden hukum baru terkait regulasi NFT di AS.
Nike sendiri, yang bermarkas di Beaverton, Oregon, hingga saat ini belum memberikan tanggapan resmi terkait gugatan tersebut. Phillip Kim, pengacara yang mewakili para penggugat, juga enggan memberikan komentar lebih lanjut. Keheningan dari kedua belah pihak semakin menambah misteri di balik penutupan mendadak RTFKT dan implikasinya terhadap para investor NFT.
Akuisisi RTFKT oleh Nike pada Desember 2021 sempat menjadi sorotan industri. Saat itu, Nike menyatakan bahwa RTFKT merupakan perusahaan yang inovatif dan mampu menciptakan koleksi generasi baru yang memadukan budaya dan dunia game. Penggunaan teknologi mutakhir dan pendekatan yang unik dalam dunia fesyen digital menjadi daya tarik utama Nike untuk mengakuisisi perusahaan tersebut. Namun, kurang dari tiga tahun kemudian, Nike mengumumkan penutupan RTFKT pada 2 Desember 2024. Dalam pengumumannya, Nike menyatakan bahwa inovasi yang diusung RTFKT akan tetap berlanjut melalui kreator dan proyek-proyek yang terinspirasi olehnya. Namun, pernyataan ini dinilai tidak cukup memuaskan oleh para penggugat yang merasa telah dirugikan secara finansial.
Gugatan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan penting. Pertama, apa alasan sebenarnya di balik penutupan mendadak RTFKT? Apakah terdapat masalah internal yang tidak diungkapkan kepada publik? Apakah Nike telah melakukan kesalahan dalam mengelola investasi di sektor NFT? Kedua, bagaimana Nike akan merespon gugatan ini? Apakah mereka akan bernegosiasi dengan para penggugat untuk mencapai penyelesaian di luar pengadilan, atau akan mereka menghadapi persidangan yang panjang dan berpotensi merugikan reputasi mereka? Ketiga, bagaimana kasus ini akan mempengaruhi perkembangan industri NFT secara keseluruhan? Apakah kasus ini akan mendorong regulasi yang lebih ketat terhadap NFT di AS, atau justru sebaliknya?
Gugatan ini bukan hanya masalah hukum antara Nike dan para penggugat, tetapi juga mencerminkan tantangan dan risiko yang melekat dalam investasi aset kripto, termasuk NFT. Volatilitas pasar kripto yang tinggi dan kurangnya regulasi yang jelas telah menyebabkan banyak investor mengalami kerugian finansial. Kasus Nike dan RTFKT ini menjadi pengingat penting bagi investor untuk melakukan riset yang menyeluruh dan memahami risiko sebelum berinvestasi di aset digital yang masih relatif baru dan belum teruji sepenuhnya.
Lebih lanjut, kasus ini juga mengangkat pertanyaan tentang tanggung jawab perusahaan besar dalam melindungi konsumen yang berinvestasi di produk-produk yang terkait dengan perusahaan tersebut. Apakah Nike memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang lebih lengkap dan transparan kepada para pembeli NFT RTFKT mengenai risiko investasi yang terkait? Apakah penutupan mendadak RTFKT merupakan tindakan yang etis dan bertanggung jawab? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab melalui proses hukum yang adil dan transparan.
Kesimpulannya, gugatan terhadap Nike ini merupakan peristiwa penting yang berpotensi mengubah lanskap industri NFT dan regulasi aset kripto di Amerika Serikat. Hasil dari gugatan ini akan memiliki implikasi yang luas, tidak hanya bagi Nike dan para penggugat, tetapi juga bagi seluruh industri NFT dan investor di seluruh dunia. Perkembangan selanjutnya dari kasus ini patut untuk diikuti dengan seksama. Para ahli hukum dan pengamat industri akan terus memantau perkembangan kasus ini untuk melihat bagaimana pengadilan akan memutuskan status hukum NFT dan tanggung jawab korporasi dalam konteks investasi aset kripto. Kasus ini juga akan menjadi pelajaran berharga bagi investor untuk lebih berhati-hati dan melakukan riset yang mendalam sebelum berinvestasi di aset digital yang masih relatif baru dan berisiko tinggi.